Selasa, 31 Januari 2012

Manajemen Stress

Istilah stress saat ini merupakan bagian dari perbendaharaan kata yang sering digunakan oleh manusia sehari-hari. Stress sesungguhnya telah ada sepanjang keberadaan manusia dan timbul sebagai hasil interaksi satu sama lain pada situasi yang sangat bervariasi. Walaupun stress tidak mungkin dihindari, tidak semua stress bersifat merusak atau mematikan (detrimental)
. Stress diibaratkan sebagai sebuah “pedang bermata dua” yang mengandung pemahaman bahwa stress di satu sisi bersifat merusak (destructive), karena dapat membuat manusia mengalami kerapuhan secara fisik dan mental (physical and mental breakdowns).  Namun di sisi lain stress justru bersifat membangun (constructive) karena stress dapat berkontribusi secara positif demi kelangsungan suatu organisasi. Stress memungkinkan manusia untuk termotivasi dan menjadi kekuatan pendorong (driving powers) sehingga manusia lebih produktif. Dengan demikian suatu organisasi atau suatu institusi akan dapat mencapai outcomes yang lebih baik bila mampu me-manage stress secara optimal.

Apa itu stress?
Pertimbangan bagaimana upaya efektif dalam penatalaksanaan stress di tempat kerja adalah penting. Namun sebelum itu, pemahaman terhadap definisi stress menjadi sebuah keharusan. Stone berpendapat bahwa stress sebagai “the rate of wear and tear on the body caused by living”. Ini berarti bahwa stress merupakan kumpulan berbagai tekanan dan permasalahan yang dialami oleh manusia selama mereka mengarungi kehidupan. Walaupun begitu, stress itu sendiri tidak bisa diartikan baik maupun buruk, karena pada kenyataannya beberapa derajat stress yang dialami oleh manusia sehari-hari masih digolongkan normal dan memang diperlukan. Tanpa adanya stress, energi dan motivasi untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik akan tidak ada. Padahal kedua elemen tersebut sangatlah penting bagi manusia di dalam upaya mempertahankan kehidupan sehari-hari. Berikutnya, Michie berargumen bahwa stress merupakan sebuah interaksi antara situasi dan individu, yang melibatkan fisik maupun psikologi, yang terjadi ketika sumber-sumber individu sudah tidak mencukupi lagi dalam mengatasi kebutuhan-kebutuhan dan berbagai tekanan dari situasi yang terjadi saat itu. Sumber-sumber individu yang dimaksudkan mungkin berupa sumber materi seperti keuangan, dan sumber psikologi misalnya harga diri dan ketrampilan-ketrampilan yang memadai dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dialami. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Hartel, seorang ahli manajemen sumber daya manusia, mendefinisikan stress sebagai “tension people experience when they are under considerable physical and psychological demand”. Berbagai ketegangan yang diperlihatkan sebagai akibat dari stress bisa dalam bentuk perasaan frustrasi, kemarahan, bad moods, dan bahkan, tindakan kekerasan. Oleh karena itu, berdasarkan pandangan di atas maka stress perlu mendapat perhatian yang serius dan untuk itu ketrampilan dalam mengatasi stress merupakan suatu hal yang mutlak. Oleh karena tidak semua orang memiliki kemampuan untuk me-manage stress secara efektif maka konsekuensinya adalah, stress bisa berpotensi merusak stabilitas mental (distress) sebagai akibat buruknya pengorganisasian atau manajemen stress itu sendiri. Jadi, dari beberapa pengertian stress yang telah dikemukakan, ketiganya sama-sama mengisyaratkan bahwa stress merupakan pengalaman yang tidak memberikan rasa nyaman bagi manusia (uncomfortable experience) dan dengan demikian stress penting untuk di-manage secara optimal sehingga mempunyai efek positif baik bagi individu maupun lingkungan dimana individu tersebut melakukan segala aktivitas dan interaksi.

Berbagai data mengungkapkan stress dapat terjadi di berbagai organisasi dan lahan kerja. Keberadaan stress tersebut tidak dapat dipungkiri akan berdampak kepada kinerja staf dan lingkungan kerja secara keseluruhan. Sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Yaman mengungkapkan bahwa lebih dari 20 %  anggaran dari institusi pelayanan umum telah dikeluarkan untuk menangani keluhan-keluhan yang berkaitan dengan stress karyawan (occupational stress). Secara khusus di institusi pelayanan kesehatan, lebih dari 70% perawat-perawat ditemukan mengalami efek akut maupun kronis dari stress dan kelebihan beban kerja dimana masalah tersebut merupakan salah satu dari 3 besar masalah keamanan dan kesehatan kerja (occupational health and safety). Lebih jauh dikatakan bahwa perawat yang mengalami stress di tempat kerja  akan berdampak tidak baik terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang meraka berikan kepada pasien. Tidak hanya itu, sebanyak 75% dari responden perawat di Amerika mengatakan bahwa stress telah menurunkan motivasi mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan yang paling mengejutkan adalah sebanyak 56% dari mereka berpikir bahwa occupational stress yang dialami telah secara langsung menyita waktu sehingga dengan demikian, menurunkan kesempatan mereka dalam memberikan pelayanan yang prima terhadap pasien. Fakta dan data ini mengindikasikan bahwa karyawan pada instansi kesehatan, khususnya perawat, sedang menghadapi situasi kerja dengan tingkat stress yang tinggi dan bahkan, pada kondisi lingkungan kerja yang sangat membahayakan.

Apa penyebab stress?
Berbagai aspek di dalam lingkungan kerja dapat menjadi sumber-sumber stress (stressor)  bagi karyawan. Sampai saat ini ada 3 aspek utama penyebab stress yang telah diidentifikasi. Ketiga aspek yang dimaksud adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan situasi kerja, aspek-aspek yang berhubungan dengan karakteristik perorangan dari masing-masing karyawan, serta berbagai aspek yang berkaitan dengan lingkungan luar dari lingkungan kerja karyawan. Di dalam konteks instansi pelayanan kesehatan misalnya, para perawat menghadapi stress yang berhubungan dengan situasi hidup dan kematian. Ini dapat terlihat dari pengalaman perawat yang merawat pasien-pasien pada detik-detik kematian mereka, yang sering tidak bisa terlupakan dalam kehidupan perawat tersebut. Begitu pula dengan pengalaman perawat dalam merawat bayi baru lahir. Kedua kondisi di atas, secara tidak disadari, akan berdampak pada situasi perasaan dan pikiran perawat. Tidak hanya itu, seperti tertuang di dalam setiap tujuan tindakan keperawatan, perawat selalu berharap dapat mencapai progress pasien yang lebih baik atau berusaha berkontribusi dalam menyelesaikan penyebab dari masalah kesehatan yang dialami oleh pasien saat itu.

Stress yang dialami oleh perawat juga berasal dari tingginya beban kerja yang melibatkan fisik dan mental. Disamping itu juga, tuntutan terhadap pengetahuan yang mesti dimiliki oleh perawat tentang bagaimana cara menggunakan berbagai alat kesehatan dan konsekuensinya bila alat-alat tersebut mengalami kerusakan turut memberikan andil terhadap munculnya stress. Satu hal yang tidak kalah pentingnya sebagai aspek yang berkontribusi terhadap timbulnya stress diantara karyawan pada unit pelayanan kesehatan khususnya perawat adalah berbagai permasalahan sebagai akibat omission dan distortion terhadap informasi di dalam rangkaian komunikasi antar anggota profesi kesehatan. Omission maupun distortion ini sebagian disebabkan karena perbedaan persepsi diantara para komunikator, dan sebagian lagi oleh karena anggapan adanya perbedaan status yaitu salah satu dari komunikator atau komunikan merasa lebih superior dari yang lainnya. Dimana keadaan-keadaan  seperti yang disebutkan tadi  seharusnya tidak perlu terjadi apabila setiap individu di dalam team berkemauan untuk menerapkan teknik komunikasi yang efektif tanpa mengurangi materi informasi, dengan didasarkan rasa kekeluargaan atau paras paros salunglung sebayantaka. Jadi, instansi pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit merupakan satu dari beberapa lingkungan kerja yang penuh dengan stressor dan oleh karena itu, stress management di dalam lingkungan kerja ini penting dilakukan dengan menyusun rencana strategi yang mengacu pada penyebab-penyebab stress tersebut di atas.

Apa bentuk dari penatalaksanaan stress?
Peran-peran proaktif dalam menanggulangi stress di tempat kerja adalah penting. Berbagai strategi perlu diambil sebagai langkah-langkah yang efektif. Penatalaksanaan stress yang baik akan meningkatkan lingkungan kerja yang sehat yang dapat dibuktikan dalam bentuk rendahnya angka absensi karyawan, keterlambatan datang, dan penurunan kinerja staf sehingga dengan demikian pelayanan prima (excellence service) akan tercapai. Adapun beberapa strategi dalam penatalaksanaan stress (Stress management) yang bisa diterapkan meliputi:
  1. Pengembangan sebuah kebijakan tentang stress (stress policy) dan memonitor efektifitasnya.
  2. Pelaksanaan sebuah survey untuk mengetahui faktor-faktor penyebab stress di lingkungan kerja.
  3. Pelaksanaan upaya perbaikan design pekerjaan dan lingkungan kerja.
  4. Pelaksanaan perbaikan terhadap pola komunikasi lingkungan kerja agar lebih efektif dan berfokus pada penyelesaian masalah.
  5. Melakukan pertemuan dengan karyawan dalam upaya mendiskusikan berbagai permasalahan yang memungkinkan terjadinya stress.
  6. Mengadakan training tentang penatalaksanaan stress di tempat kerja (occupational stress management) bagi para pimpinan unit kerja sehingga diharapkan mereka dapat lebih sensitive terhadap penyebab-penyebab dan symptom awal dari stress di lingkungan kerja mereka.
  7. Pelaksanaan berbagai kegiatan yang bersifat informal yang merujuk pada tujuan peningkatan upaya relaksasi bagi karyawan, seperti happy hours, afternoon tea, outbound activities, tamasya keluarga, Tirta yatra, dll.
Jadi penatalaksanaan stress sangat penting untuk diperkenalkan di dalam lingkungan kerja terutama di instansi pelayanan kesehatan. Good stress management akan memungkinkan terciptanya  lingkungan kerja yang nyaman, aman dan sehat sehingga dengan demikian misi dan tujuan instansi pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan publik dapat dicapai secara optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar