Minggu, 29 Januari 2012

TES FUNGSI JANTUNG

Penyakit Jantung Iskemik
            Penyebab kematian yang paling umum di dunia Barat adalah penyakit jantung iskemik, yang merupakan akibat dari insufisiensi aliran darah koroner. Penyebab berkurangnya aliran darah koroner ini disebabkan karena aterosklerosis.
            Aterosklerosis adalah suatu penyakit arteri berukuran besar dan sedang akibat terbentuknya lesi lemak yang disebut plak ateromatosa pada permukaan dalam dinding arteri. Sedangkan arteriosklerosis adalah istilah umum yang merujuk pada kekakuan dan penebalan pembuluh darah berukuran apa saja. Cikal bakal aterosklerosis dimulai dengan adanya kerusakan endotel vaskular. Hal ini selanjutnya meningkatkan paparan molekul adhesi pada sel endotel dan menurunkan kemampuan endotel tersebut untuk melepaskan nitric oxide dan zat lain yang membantu mencegah perlekatan makromolekul, trombosit, dan monosit pada endotel. Setelah kerusakan endotel vaskular terjadi, monosit dan lipid (kebanyakan berupa lipoprotein berdensitas rendah) yang beredar, mulai menumpuk di tempat yang mengalami kerusakan. Monosit melalui endotel, memasuki lapisan intima dinding pembuluh, dan berdiferensiasi menjadi makrofag, yang selanjutnya mencerna dan mengoksidasi tumpukan lipoprotein, sehingga penampilan makrofag menyerupai busa. Sel busa makrofag ini kemudian bersatu pada pembuluh darah dan membentuk fatty streak yang dapat dilihat.
            Dengan berjalannya waktu, fatty streak menjadi lebih besar dan bersatu, dan jaringan otot polos serta jaringan fibrosa di sekitarnya berproliferasi untuk membentuk plak yang makin lama makin besar. Makrofag juga melepaskan zat yang menimbulkan inflamasi dan proliferasi lebih lanjut dari jaringan fibrosa dan otot polos pada permukaan dalam dinding arteri. Penimbunan lipid ditambah proliferasi sel dapat menjadi sangat besar sehingga plak menonjol ke dalam lumen arteri dan sangat mengurangi aliran darah, yang kadang-kadang menyumbat seluruh pembuluh darah. Terjadi pula sklerosis akibat penimbunan sejumlah besar jaringan ikat padat sehingga arteri menjadi kaku dan tidak lentur. Garam kalsium juga seringkali mengendap bersama kolesterol dan lipid lain dari plak, yang menimbulkan kalsifikasi arteri menjadi seperti saluran kaku sekeras tulang.
            Arteri kemudian kehilangan sebagian besar distensibilitasnya, dan karena daerah di dinding pembuluhnya berdegenerasi, pembuluh menjadi mudah robek. Pada tempat penonjolan plak ke dalam aliran darah, permukaan plak yang kasar dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah, dengan akibat pembentukan thrombus atau embolus, sehingga dapat menyumbat semua aliran darah di dalam arteri dengan tiba-tiba.1
            Penyakit jantung iskemik atau penyakit jantung koroner dapat memberikan manifestasi klinis berupa2 :
  • Angina pektoris à rasa nyeri dada dan sesak napas yang disebabkan gangguan suplai oksigen yang tidak mencukupi kebutuhan otot jantung. Keadaan ini terutama terjadi pada saat latihan fisik atau adanya stres.
  • Angina pektoris tidak stabil à bila nyeri timbul untuk pertama kali, atau bila angina pektoris sudah ada sebelumnya namun menjadi lebih berat. Biasanya dicetuskan oleh faktor yang lebih ringan dibanding sebelumnya. Keadaan ini harus diwaspadai karena bisa berlanjut menjadi berat, bahkan menjadi infark miokard.
  • Infark miokard à kerusakan otot jantung akibat blokade arteri koroner yang terjadi secara total dan mendadak. Biasanya terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis di dalam arteri koroner. Secara klinis ditandai dengan nyeri dada seperti pada angina pektoris, namun lebih berat dan berlangsung lebih lama sampai beberapa jam. Tidak seperti angina pektoris yang dicetuskan oleh latihan dan dapat hilang dengan pemakaian obat nitrat di bawah lidah, pada infark miokard biasanya terjadi tanpa dicetuskan oleh latihan dan tidak hilang dengan pemakaian nitrat. Biasanya disertai komplikasi seperti : gangguan irama jantung, renjatan jantung (syok kardiogenik), gagal jantung kiri, bahkan kematian mendadak (sudden death).
  • Sindrom koroner akut à spektrum klinis yang terjadi mulai dari angina pektoris tidak stabil sampai terjadi infark miokard akut.

Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Jantung Iskemik
Infark Miokard (MCI / Myocardial Infarction)3
            Pemeriksaan laboratorium membantu klinik melengkapi syarat-syarat diagnostik pada MCI terutama dalam stadium permulaan, dapat dibagi dalam 3 golongan :
  1. Pemeriksaan darah rutin
  2. Pemeriksaan enzim jantung
  3. Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari keadaan/penyakit lain yang sering menyertai MCI.
            Pada MCI terjadi mionekrosis, akibatnya pada pemeriksaan darah rutin terlihat kelainan sebagai berikut :
  • Jumlah leukosit dalam darah perifer meninggi dan sering disertai pergeseran ke kiri. Lambat laun jumlah leukosit menurun pada hari-hari berikutnya.
  • Laju endap darah naik, yang pada hari-hari berikutnya lebih meningkat. Namun, kelainan ini tidak khas dan tidak selalu timbul.
            Pada pemeriksaan enzim terlihat :
  • SGOT dan CPK
            Enzim-enzim jantung yang bermanfaat dalam diagnosis dan pemantauan MCI di antaranya :
  • SGOT/AST à kadarnya naik sekitar 6-8 jam setelah mulainya MCI dan umumnya mencapai kadar normal pada hari ke-5 (bila tidak ada penyulit).
  • LDH à kadarnya naik dalam waktu 24 jam setelah terjadinya MCI, mencapai kadar tertinggi pada hari ke-4 dan menjadi normal kembali dalam waktu 8-14 hari. Isoenzim terpenting adalah α HBDH (LDH 1).
  • CK/CPK à kadarnya naik sekitar 6 jam setelah berjangkitnya MCI dan pada kasus-kasus tanpa penyulit mencapai kadar tertinggi dalam waktu 24 jam untuk menjadi normal kembali dalam waktu 72-96 jam. Terdapat 3 isoenzim CK : MM (otot skelet), MB (miokardium à merupakan 5-15% dari CPK total), dan BB (otak).
  • CK-MB à isoenzim CK yang spesifik untuk sel otot jantung, karena itu kenaikan aktivitas CK-MB lebih mencerminkan kerusakan otot jantung. Kadar CK-MB seperti CK (total) mulai naik 6 jam setelah mulainya MCI, mencapai kadar tertinggi lebih kurang 12 jam kemudian dan biasanya lebih cepat mencapai kadar normal daripada CPK, yaitu 12-48 jam. Sensitivitas tes CK-MB sangat baik (hampir 100%) dengan spesifitas agak rendah. Untuk meningkatkan ketelitian penentuan diagnosis MCI dapat digunakan rasio antara CK-MB terhadap CK total. Apabila kadar CK-MB dalam serum melampaui 6-10% dari CK total, dan tes-tes tersebut diperiksa selama 36 jam pertama setelah onset penyakit maka diagnosis MCI dapat dianggap hampir pasti.
  • Troponin à dibedakan 3 tipe yaitu : C, I, dan T di mana I dan T lebih spesifik untuk otot jantung. Troponin adalah protein spesifik berasal dari miokard (otot jantung), kadarnya dalam darah naik bila terjadi kerusakan otot jantung. Kadar troponin dalam darah mulai naik dalam waktu 4 jam setelah permulaan MCI, selanjutnya meningkat terus dan dapat diukur sampai satu minggu. Tes troponin sebaiknya disertai dengan pemeriksaan lain seperti CK-MB, CK, CRP, hs-CRP, dan AST.
             Untuk pemeriksaan laboratorium lain yang digunakan dalam mencari keadaan/penyakit lain sebagai penyerta MCI di antaranya :
  • Gula darah postprandial atau bila perlu tes toleransi glukosa
  • Pemeriksaan profil lipid (kolesterol total, trigliserida, HDL kolesterol, LDL kolesterol)
  • Pemeriksaan faal ginjal bila ada hipertensi
            Dalam pemeriksaan profil lipid, harus diketahui terlebih dahulu istilah lipoprotein. Lipoprotein adalah kompleks dari lipid (fosfolipid, kolesterol, trigliserida) dan protein dalam konsentrasi yang berbeda-beda. Lipid tak dapat larut dalam air, sehingga tugas lipoprotein adalah mengangkut lipid ini.
            Terdapat 4 lipoprotein : HDL (partikel paling kecil, komposisi protein paling banyak dan trigliserida paling sedikit), LDL (komposisi kolesterol paling banyak), VLDL, dan kilomikron (komposisi protein dan kolesterol paling sedikit, trigliserida paling banyak).
            Ternyata, di samping dari faktor risiko seperti hipertensi, DM, hiperkolesterolemia, dan merokok, fraksi-fraksi lipoprotein (kilomikron, VLDL, LDL, dan HDL kolesterol) memegang peranan penting dalam risiko pembentukan proses aterosklerosis dan menyebabkan penyakit jantung koroner.
            Kilomikron mentransfer lemak dari usus dan tidak berpengaruh dalam proses aterosklerosis. Meningginya LDL dan VLDL akan meningkatkan proses aterosklerosis dan risiko penyakit jantung. Meningginya kadar HDL akan berbanding terbalik dengan risiko penyakit jantung koroner.
Angina Pektoris Tidak Stabil
            Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima sebagai penanda paling penting dalam diagnosis Sindrom Koroner Akut (SKA). Menurut European Society of Cardiology (ESC) dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.
            Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang lain seperti amioid A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosis SKA.4
Angina Pektoris Stabil
            Beberapa pemeriksaan lab yang diperlukan antara lain : hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan pemeriksaan terhadap faktor risiko koroner seperti gula darah, profil lipid, dan penanda inflamasi akut bila diperlukan, yaitu bila nyeri dada cukup berat dan lama, seperti enzim CK/CKMB, hs-CRP, troponin.5

Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Jantung Reumatik
            Demam Reumatik (DR) adalah suatu penyakit inflamasi sistemik non supuratif yang digolongkan pada kelainan vaskular kolagen atau kelainan jaringan ikat (Stollerman, 1972). Proses reumatik ini merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi, dan sistem saraf pusat.
            Manifestasi klinis penyakit DR ini akibat kuman Streptococcus β hemolyticus Lancefield grup A pada tonsilofaringitis dengan masa laten 1-3 minggu (Morehead, 1965). Sedangkan yang dimaksud dengan Penyakit Jantung Reumatik (PJR) adalah kelainan jantung yang terjadi akibat DR, atau kelainan karditis reumatik (Taranta A dan Markowitz, 1981).6
            PJR banyak mengenai anak-anak usia 5-15 tahun dan jika anak yang sedang faringitis karena Streptococcus tidak ditangani dengan segera dapat menjadi faktor risiko. Patogenesis PJR meliputi tiga proses yaitu : infeksi langsung oleh Streptococcus grup A, efek toksik yang dikeluarkan dari produk ekstraseluler Streptococcus, dan disfungsi atau respon imun yang abnormal terhadap antigen somatik atau ekstraseluler yang diproduksi Streptococcus grup A.
            Pada tahun 1944, Jones menetapkan kriteria diagnosis atas dasar beberapa sifat dan gejala saja dari PJR. Namun setelah itu kriteria ini dimodifikasi oleh American Heart Association (AHA) pada tahun 1992, yang mengemukakan bahwa kriteria seseorang terdiagnosis PJR jika memiliki 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor, dan ditambah dengan data penunjang.
            Kriteria mayor meliputi : karditis (40-60%); polyarthritis migrans (75%) pada siku, pergelangan tangan dan kaki, dan lutut; sydenham’s korea (<10%); nodul subkutaneus; eritema marginatum (<10%).
            Kriteria minor meliputi : secara klinis didapati suhu tinggi dan sakit sendi (arthralgia), pada EKG ditemukan perpanjangan interval PR, dan secara laboratorium ditemukan peningkatan laju endap darah, CRP, ASTO, dan jumlah leukosit.
            Data penunjang meliputi : kultur hapusan tenggorok positif (25-40%), peningkatan titer tes serologi ASTO (80%), kenaikan anti DNA-se B dan anti hyaluronidase (95%).7

Daftar Pustaka :
1.      Guyton AC, Hall JE. Aliran Darah Otot dan Curah Jantung Selama Kerja Fisik dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008. p.265.
2.      Shahab A. Komplikasi Kronik DM Penyakit Jantung Koroner dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Interna Publishing; 2009. p.1940.
3.      Kosasih EN, Kosasih AS. Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Edisi ke-2. Tangerang : Karisma Publishing Group; 2008. p.283-6 dan p.326-9.
4.      Trisnohadi HB. Angina Pektoris Tak Stabil dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Interna Publishing; 2009. p.1729-30.
5.      Rahman AM. Angina Pektoris Stabil dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Interna Publishing; 2009. p.1736.
6.      Leman S. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Interna Publishing; 2009. p.1662.
7.      Immanuel S. Slide Kuliah Laboratory Diagnosis of Cardiovascular Diseases. Disampaikan pada : Selasa, 4 Mei 2010.