Jumat, 22 Juni 2012

Demam Berdarah



Diagnosis klinis :
Ditandai demam akut, trombositopenia, perdarahan ringan-berat, kebocoran plasma : hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia.
Diagnosis DBD (menurut kriteria WHO 1999)
Secara Klinis :
1. demam tinggi mendadak selama 2 – 7 hari
2. manifestasi perdarahan minimal tes torniquet + (petekia, epistaksi, hematemesis dll)
3. hepatomegali
4. tanda-tanda syok : nadi kecil & cepat, hipotensi, gelisah, akral dingin, sianosis sekitar mulut.

Laboratorium :
1. Hemokonsentrasi (Ht fase akut meningkat >20%fase konvalesen)
2. Trombositopenia (< 100.000/uL)
Diagnosis DBD/SSD ditegakkan bila ditemukan minimal 2 gejala klinik + 2 kelainan lab.

Menurut WHO beratnya DBD dikelompokkan :
Derajat (grade) I : demam tanpa gejala khas + tes tourniquet (+)
Derajat (grade) II : derajat I + manifestasi perdarahan spontan
Derajat (grade) III : derajat II + hipotensi (SSD)
Derajat (grade) IV : derajat III + syok (SSD)
Inilah yang biasanya disertakan dalam gejala klinis atau diagnosis sementara di blanko laboratorium oleh diagnosis dokter yang merawat pasien. Kata yang muncul : suspek DBD, DBD grade II, atau DSS (dengue shock syndrome).
Pada awal perjalanan penyakit, DBD dapat menyerupai kasus DD dengan kecenderungan perdarahan yang berupa satu atau lebih manifestasi di bawah ini, yaitu :
1. Uji bendungan (Tourniquet) positif
2. Perdarahan kulit (Petekie, ekimosis atau purpura)
3. Perdarahan mukosa (perdarahan hidung (epistaksis), perdarahan gusi)
4. Muntah darah (hematemesis) atau buang air besar darah (melena).
5. Hitung trombosit rendah (trombositopenia = hitung trombosit < 100.000/mm3)
6. Pemekatan darah (hemokonsentrasi) sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi satu atau lebih yaitu:
Peningkatan hematokrit (Ht) sesuai umur dan jenis kelamin > 20% dibandingkan rujukan atau lebih baik lagi data awal pasien.
Penurunan hematokrit 20 % setelah medapat pengobatan cairan.
Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinuria.
Sindrom Syok Dengue
Terdapat kriteria DBD seperti diatas, ditambah dengan manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun ( < 20 mmHg ), hipotensi (serta sesuai umur), kulit dingin dan lembab serta pasien tampak gelisah.
Diagnosis Laboratorium
a. Pemeriksaan Hematologi Rutin.
1). Hemoglobin
Terjadi peningkatan 20% dari normal sesuai umur dan jenis kelamin yang sebanding dengan kenaikan nilai hematokrit. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk puskesmas yang tidak memiliki alat untuk memeriksa hematokrit. Hasil ini berkorelasi dengan hematokrit, dengan asumsi bahwa Hb x 3 = hematokrit.
2). Hitung Leukosit
Jumlah leukosit penderita bervariasi dari 2.200-18.400 sel/mm3 darah. Leukopenia ditemukan pada sebagian besar penderita DBD pada hari ketiga demam dan mencapai nilai terendah pada hari keempat. Lalu meningkat lagi beberapa hari kemudian. Pada konvalesen bahkan tidak jarang ditemukan leukositosis.
3). Hematokrit
Pada penderita terjadi peningkatan 20% dari nilai normal pada masa akut. Biasanya saat pengambilan darah penderita saat demam onset sakit, maka akan didapatkan kenaikan 20%, tanpa mendapatkan terapi cairan infus. Rentang nilai hematokrit yang umumnya didapatkan 42-47% pada anak, sedang pada dewasa 45-51%. Hal ini dapat bervariasi karena lamanya terkena infeksi DBD saat dihitung mulai demam pertama.
4). Trombosit
Terjadi penurunan hitung trombosit dari nilai normal. Umumnya pada masa akut jumlah trombosit 100.000 /mm3 darah untuk patokan rawat inap dan rawat jalan 150.000 /mm3. Padaa saat awal infeksi, trombosit dlm jumlah normal, kemudian menurun drastis, hingga saat fase demam, fase syok mencapai puncak terendah (bisa mencapai 20.000), setelah itu perlahan naik kembali pada fase konvalescen, setelah itu 7-10 setelah onset sakit maka akan kembali normal.
5). Memeriksa adanya Limfosit Plasma Biru (LPB) pada hapusan darah.
Secara Hematologis di darah tepi dengan pengecatan Wright, giemsa, May Grunwald, Romanowsky dan lainnya ditemukan Limposit Plasma Biru (LPB). LPB berbentuk bulat atau amoeboid, sitoplasma biru tua sampai gelap dengan vakuolasasi halus, inti berbentuk bulat, oval, atau seperti ginjal, kromatin renggang, kadang ada nucleoli, eksentrik, ditepi nucleus ada perinuklear jernih, ditemukan dalam berbagai tingkat mitosis. LPB 4% sensitifitas dan spesifitas 68-83% pada hari keempat.
Sebetulnya perubahan pada limfosit tersebut sudah diamati lama. Stitt (1970) mengamati pada awal penyakit dengue proporsi limfosit meningkat, lalu diikuti limfosit yang dominan. Setelah itu muncul mononuklear yang besar dan transitional cell. Karena bentuk LPB menyerupai plasma sel, dan pada saat itu muncul kenaikan imunoglobulin dan kenaikan limfosit-B, maka diduga LPB adalah termasuk populasi limfosit-B. Hasil imunoperoksidase dengan menggunakan monoklonal antibodi CD4, CD7, CD8, CD22, Ia dan DR didapatkan LPB tersebut merupakan campuran dari limfosit-T dan limfosit-B dengan perbandingan 1:1, sedang perbandingan T helper dan T supressor 2:3. pada kasus-kasus yang berat jumlah T supressor terdapat kecenderungan lebih meningkat.
Arti diagnostik LPB adalah dapat membantu memilahkan infeksi dengue dan non-dengue. Selain membantu diagnosis dini (sebelum timbul shock), penghitungan LPB relatif sederhana yaitu dengan menggunakan Giemsa, Wright atau May Grunwald. Ketiganya memberikan memberikan hasil yang tidak berbeda. Prosentasi LPB tidak dipengaruhi oleh status nutrisi pasien, pemberian obat parasitamol, salisilat, ampisilin, dan kloramfenikol,
6). Faal Hemostasis
Pemeriksaan hemostasis yang penting pada awal sakit adalah uji bendungan (uji Tourniquet). Pada stadium lebih lanjut penetapan D Dimer, dan masa protrombin (Prothrombin time = PT) membantu memastikan sudah adanya koagulasi intra vascular menyebar (Disseminated intra Vascular Coagulation = DIC ). Pada penderita DBD ditemukan peningkatan yang minimal kadar FDP, dan tidak berhubungan dengan beratnya penyakit. Pada penderita dengan peningkatan FDP, ditemukan masa tromboplastin parsial dan masa protrombin yang agak memanjang. FDP yang meningkat disertai trombositopenia menunjukan adanya proses koagulasi intravaskular, merupakan hal yang mengakibatkan perdarahan tetapi belum membuktikan adanya DIC. Namun demikian DBD dengan syok dan asisdosis berkepanjangan dapat mencetuskan DIC. Gambaran Kelainan hemostasis : (1) Faktor vaskuler : petekia, epistaksis, ekimosis (2) Trombositopenia (PT,APTT, F II, V, VII, IX, X, Fibrinogen) (3) Defek koagulasi (4) DIC dan (5) Perdarahan masif
b. Virologi
Isolasi virus merupakan pendekatan yang paling menentukan, namun teknik yang ada saat ini membutuhkan tingkat keahlian teknis dan perlengkapan yang relatif tinggi. Uji serologi cukup mudah dan lebih cepat di lakukan, namun reaksi silang antara antibodi Dengue dan Flavivirus lainnya dapat menimbulkan hasil positif palsu. Selain itu, identifikasi akurat terhadapa serotipe infeksi virus dengue belum dimungkinkan dengan metode serologi pada umumnya.
Isolasi virus Dengue dari spesimen klinis dapat diperoleh dari sebagian besar kasus. Spesimen harus diambil sebelum 4 hari setelah timbul gejala dan diproses secepat mungkin. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus meliputi serum fase akut, plasma atau lapisan leukosit setelah pemusingan tabung darah (buffycoat) pasien yang telah dicuci (washed buffy coat), jaringan otopsi yang diambil dari pasien yang meninggal, terutama hati limp, kelenjar getah bening, kelenjar timus dan nyamuk yang dikumpulkan di alam.
C. Serologi
Terdapat lima uji serologi dasar yang umum digunakan untuk mendiagnosis infeksi Dengue secara rutin yaitu :
1. Uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutinasi inhibition = HI)
2. Uji Fiksasi komplemen (Complemen fixation = CF)
3. Uji Netralisasi (Neutralization test = NT)
4. IgM Capture enzymelinked immunosorbent assay (MAC ELISA)
5. Indirect lg G ELISA
d. Teknik Molekuler
Dengan metode Polymerase Chain reaction (PCR), hasil uji ini memeiliki hasil yang sama baik dengan metode pemeriksaan serologi (Dengue Blot). Tidak dibahas lebih lanjut.

Uji Hemaglutination Inhibition (HI)
Pada umumnya penyakit yang disebabkan virus dapat dikonfirmasikan dengan tes hambatan hemaglitinasi (HI tes). Tes ini direkomendasikan oleh WHO namun karena menggunakan serum ganda yang berbeda saat pengambilannya 7 – 10 hari, kurang cocok untuk diagnosis dengue di daerah endemik yang perlu cepat hasilnya.
Uji ini merupakan uji serologi yang paling banyak digunakan. Selain sederhana, mudah dan murah juga sangat sensitif. Dasar pemeriksaan HI ialah bahwa virus-virus tertentu mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi butir darah merah, sedangkan antibodi spesifik yang terdapat dalam serum penderita akan menghambat/menginhibisi terjadinya aglutinasi. Prinsip kerja dari uji ini adalah mengukur tinggi rendahnya (titer) zat kebal (HI antibodi), zat ini akan muncul didalam serum penderita beberapa waktu setelah seseorang terinfeksi oleh virus penyebab DBD.
Pemeriksaan HI paling sering digunakan sebagai penunjang diagnosis DBD, untuk mengetahui hasilnya perlu waktu minimal seminggu, sehingga secara klinis kuranga bermanfaat dalam diagnosis dan penanganan penderita.

Enzyme Linked Immunosorbent Assay ( ELISA )
Enzyme Linked Immunosorbent Assay ( ELISA ) dikerjakan dengan plate mikrotiter plastik yang umumnya terdiri dari 96 sumur, sehingga mempermudah analisis simultan pada spesimen multipel. Suatu antibodi reagen dilapiskan didasar setiap sumur. Sampel pasien ditambahkan kedalam sumur, dan jika terdapat antigen, sampel akan berikatan dengan antibodi fase padat (panangkapan) dalam sumur. Antibodi kedua (detektor) kemudian ditambahkan, yang juga dapat bereaksi dengan antigen tersebut. Antibodi kedua dilabel dengan enzim. Setelah pencucian antibodi kedua yang tidak terikat, substrat untuk enzim tersebut ditambahkan kedalam masing-masing sumur pada urutan waktu yang tepat, dan menghasilkan produk berwarna yang dipantau secara spektrofotometri. Banyaknya antigen didalam sampel sebanding dengan banyaknya produk berwarna yang terbentuk pada tahap akhir. Setelah perkembangannya beberapa tahun, ELISA telah sangat terstandardisasi dan terotomatisasi.

Immunochromatografic Captured Test ( ICT )
Pemeriksaan serologis yang banyak digunakan saat ini adalah Dengue Duo IgM and IgG Rapid Cassette yang menggunakan metode imunokromatografi berbentuk kaset, dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG antidengue di serum tunggal, plasma ataupun darah utuh ( whole blood ). Cara menggunakannya sangat mudah, tidak memerlukan peralatan lengkap dan untuk membacanya cukup hanya dengan melihat perubahan warna di garis dalam waktu yang cepat (15 menit), sehingga jauh lebih praktis dibandingkan dengan uji serologis lainnya. Cara tersebut memiliki nilai diagnostik yang tinggi.
Prinsip pengujian tes ini apabila terdapat Antibodi dengue baik IgM & IgG dalam serum, plasma, darah utuh akan diikat oleh anti human IgM & IgG yang dilapiskan pada membrane nitroselulosa sebagai fase padat. Kemudian berikatan dengan antigen dengue yang telah membentuk komplek dengan gold labeled anti-dengue monoclonal antibody dan member warna pink pada garis tes. Adapun garis control berfungsi untuk memastikan proses reaksi berjalan baik dan sekaligus memvalidasi hasil pemeriksaan. Tes ini disesuaikan dengan nilai cut off IgG HAI pada titer 1:2560 untuk infeksi sekunder dan cut off IgM disetarakan dengan titer HAI 1:1280 untuk infeksi primer dan sekunder.
Infeksi Primer/skunder ?
1. Studi epidemiologi di Asia-Tenggara telah menunjukkan bahwa DBD/DSS banyak terjadi selama infeksi sekunder, oleh virus serotipe berbeda terhadap virus yang menyebabkan infeksi primer. (Halstead SB : Pathogenesis of Dengue, Challenger to Molecular Biology Science. 239;476. 1988)
2. Suatu infeksi DHF/DSS yang lebih tinggi pada infeksi sekunder juga telah diobservasi selama kejadian epidemis di Kuba. (Kouri at.al. : Haemorrhagic Dengue in Kuba : History of an Epidemic, PAHD Bull. 20:24 : 1986)
3. DHF/DSS kadang-kadang terjadi selama infeksi primer pada bayi umur 6-12 bulan, yang lahir dengan antibodi dengue positif berasal dari ibunya. (Halstead, S.B., 1980)
4. Manifestasi klinis infeksi sekunder virus dengue lebih berat dibandingkan infeksi primer, meskipun infeksi primer atau sekunder menunjukkan manifestasi klinis sebagaimana Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue. (Usman Hadi et.al., 1999).
5. Empat uraian diatas dapat diambil bahwa umumnya dengue primer terjadi pada usia dini dan tidak memberikan gejala klinis yang berat, sedangkan kasus skunder terjadi merupakan reinfeksi ulang virus dengue terutama serotipe lain, sehingga menimbulkan gejala klinik yang lebih berat dan menyebabkan kematian.
Berikut uraian mengenai infeksi primer dan skunder DBD :
Infeksi Primer :
• IgM anti-dengue : muncul 3 - 5 hari setelah timbulnya demam, meningkat tajam 1-3 minggu, bertahan selama 30-90 hari, beberapa kasus ada yang masih dapat dideteksi hingga delapan bulan.
• IgG anti-dengue : muncul 2 minggu sesudah infeksi. Titer IgG ini meningkat amat cepat, lalu menurun secara lambat dalam waktu yang lama dan biasanya bertahan seumur hidup (Selamat belajar : BanjarDayak)

Infeksi sekunder
• IgG anti-dengue : Hari ke-2 sudah meningkat tajam kemudian akan diikuti dengan timbulnya IgM anti-dengue
• IgM anti-dengue dapat tidak terdeteksi pada waktu lima hari sejak infeksi timbul, bahkan pada beberapa kasus tidak menunjukkan suatu respon sp hari ke-20