Secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional
bila memenuhi kriteria :
- Sesuai dg indikasi penyakit.
Penggunaan obat dikatakan rasional jika
diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosa tidak ditegakkan dengan
benar maka pemilihan obat akan mengacu pada diagnosa yang keliru. Akibatnya
obat yang diberikan tidak akan sesuai dengan indikasi seharusnya.
- Tepat pemilihan obat.
Keputusan untuk melakukan upaya terapi
diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang
dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
- Tepat dosis
Dosis sangat berpengaruh terhadap efek
terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan , khususnya untuk obat dengan
rentang terapi sempit (Narrow therapeutic
margin) misalnya teofilin, digitalis, akan sangat berisiko untuk timbulnya efek
samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya
kadar terapi yang diharapkan.
- Tepat cara pemberian
Cara pemberian yang tidak tepat akan mengurangi
ketersediaan obat dalam tubuh pasien
sehingga efek yang diharapkan tidak terjadi. Sebagai contoh ampisilin
mesti diminum 30 menit sebelum makan.
- Tepat interval waktu pemberian
Interval waktu pemberian hendaknya dibuat
sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien.
- Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai
dengan penyakitnya.. Sebagai contoh untu
Tuberkulosis lama pemberian obat paling singkat 6 bulan. Lama pemberian
kloramfenikol adalah 10-14 hari.
- Waspada terhadap efek samping.
Pemberian obat potensial menimbulkan efek
samping yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbuk akibat pemberian obat dengan dosis terapi. Sebagai Cotoh :
Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun,
karena menimbulkan kelain pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
- Tepat penilaian kondisi pasien.
Respon induvidu terhadap efek obat sangat
beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin
dan aminoglikosida. Pada penderita kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindari karena resiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini
meningkat secara bermakna.'
- Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin.
Untuk memberikan hasil yang optimal obat
harus efektif dan aman dengan mutu
terjamin. Karena itu mutu obat mesti terjamin dengan mendapatkannya dari sumber
yang tepat, karena saat ini banyak obat palsu dan kadaluarsa yang beredar di
pasaran yang tentunya akan merugikan pasien.
`
- Tersedia setiap saat dengan harga terjangkau.
Untuk memberikan kesinambungan
pengobatan terutama sekali untuk
pengobatan jangka panjang, obat yang diberikan harus tersedia setiap saat dan
harganya terjangkau oleh pasien yang menggunakan.
- Tepat Informasi.
Informasi yang tepat dan benar dalam
penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Contohnya
dalam penggunaan obat rifampisin akan mengakibatkan urine bewarna merah. Jika
hal ini tidak diinformasikan kepada penderita kemungkinan besar dia akan
menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut menyebabkan kencing
disertai darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis terapi dengan rifampisin
harus diberikan dalam jangka panjang.
- Tepat tindak lanjut (follow up).
Pada saat memutuskan pemberian terapi
harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika
pasein tidak sembuh atau mengalami efek samping.Sebagai contoh, terapi dengan
teofilin sering memberikan gejala takhikardi. Jika hal ini terjadi maka dosis
obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam
penatalaksanaan syok anafilaksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu
segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum
seperti yang diharapkan.
- Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga
dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.
Pada saat resep dibawa ke apotik atau
tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker / asisten apoteker / petugas
penyerah obat akan melaksanakan perintah dokter / peresep yang ditulis pada
lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien.
Proses penyiapan dan penyerahan harus
dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat sebagaimanan seharusnya.
Karena bila petugas salah menimbang obat atau salah membaca resep, dapat
berakibat fatal.
- Pasien patuh terhadap pengobatan yg diberikan.
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan sangat menentukan hasil yang dicapai dalam
pengobatan.
Ketidaktaatan pasien dalam meminum obat
umumnya terjadi pada kedaan berikut:
v Jenis atau jumlah obat yang diberikan
terlalu banyak.
v Frekuensi pemberian obat per hari terlalu
sering.
v Jenis sediaan obat terlalu beragam
(misalnya pada saat bersamaan pasien mendapat, tablet, tablet hisap, sirup dan obat inhalasi).
v Pemberian obat dalam jangka panjang
v Pasien tidak mendapat informasi/penjelasan
yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat,
v Timbul efek samping misalnya ruam kulit
dan nyeri lambung) atau efek ikutan (urine jadi merah karena minum rifampisin).
Pemberian obat dalam jangka lama tanpa
informasi/supervisi tentu saja akan menurunkan ketaatan penderita. Kegagalan
pengobata tuberkulosis secara nasional menjadi salah satu bukti bahwa terapi
jangka panjang tanpa disertai informasi / supervisi yang memadai tidak akan
pernah memberikan hasil seperti yang diharapkan.
.
Dampak Penggunaan Obat yang tidak rasional :
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional
sangat beragam dan bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan
penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja hanya dialami oleh pasien (efek
samping dan biaya yang mahal) maupun oleh populasi yang lebih luas seperti
resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu, dan mutu pelayanan pengobatan
secara umum.
- Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan.
Salah satu dampak penggunaan obat yang
tidak rasional adalah peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit.
Contohnya pada penderita diare akut non spesifik umumnya sering mendapat
antibiotik dan obat injeksi, sementara pemberian oralit yang lebih dianjurkan,
umumnya kurang dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi
pada anak yang diare dapat membahayakan keselamatan jiwa anak yang
bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada penderita ISPA non pneumonia pada
anak yang umumnya mendapatkan antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan.
Sementara itu pada anak yang jelas menderita pneumonia akhirnya justru tidak
mendapatkan terapi yang adekuat, karena antibiotik yang ada telah habis
digunakan untuk mereka yang tidak memerlukannya. Dengan demikian tidaklah
mengherankan apabila hingga saat ini
angka kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare masih cukup tinggi di
Indonesia.
- Dampak terhadap biaya pengobatan.
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas,
atau pemberian obat untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi
obat, jelas merupakan pemborosan dan
sangat membebankan pasien. Di sini termasuk pula peresepan obat yang mahal
padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dan harga
lebih murah tersedia. Contohnya ketidakrasionalan seperti ini adalah pemberian
antibiotik pada ISFA non pneumonia. Dari studi yang dilakukan oleh PPSDK-F
(Proyek Pengkajian Sumber Daya Kesehatan- Komponen Farmasi) di 2 provinsi di
Indonesia tahun 1992-1994 dijumpai bahwa lebih dari separuh biaya obat yang
dikonsumsi pasien puskesmas adalah untuk antibiotik. Tingginya konsumsi
antibiotik (terutama untuk kasus-kasus ISPA non Pneumonia) tentui saja
mempengaruhi anggaran obat yang tersedia.
Peresepan
antibiotik bukannya keliru, tetapi sebaiknya memproritaskan pemberiannya untuk
penyakit-penyakit yang benar-benar memerlukannya (yang jelas terbukti sebagai
infeksi bakteri) akan sangat berarti dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit infeksi. Oleh karena itu jika pemberiannya selektif, maka pemborosan
anggaran dapat dicegah dan dapat direalokasikan untuk penyakit atau intervensi
lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu pelayanan kesehatan dapat lebih
dijamin.
Disamping
itu pnggunaan obat rasional akan
berdampak pada pengurangan anggaran terhadap obat di sarana pelayanan kesehatan
dasar. Seandainya praktek penggunaan penggunaan obat rasional dilaksanakan
secara sistematis dan konsisten diperkirakan anggaran untuk pembelian obat
disarana kesehatan dasar bisa dikurangi sampai 30 %.
- Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan.
Dampak lain dari ketidakrasionalan
penggunaan obat adalah meningkatnya resiko terjadinya efek samping dan efek
lain yang tidak diharapkan, baik untuk pasien maupun untuk masyarakat.
Bebersapa data berikut mewakili dampak
negatif yang terjadi akibat penggunaan obat yang tidak rasional :
- Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan resiko terjadinya syok anafilaksis.
- Resiko terjadinya efek samping onbat meningkat secara konsisten dengan makin banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek samping dialami oleh 1 (satu) diantara 6 penderita usia lanjut yang dirawat di rumah sakit.
- Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik merupakan salah satu akibat dari pemakaian antibiotik yang berlebihan (over prescribing), maupun pemberian yang bukan indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus).
- Dampak terhadap mutu keterediaan obat.
Dari studi
data yang dilakukanoleh Bagian Farmakologi FK UGM bekerjasama dengan Ditjen
Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI pada tahun 1997-1998ditemukan bahwa
leboih dari 80% pasien dengan keluhan demam,batuk dan pilek mendapatkan
antibiotik untuk rata-rata 3 hari pemberian,.Dari praktek pengobatan tersebut
tidaklah mengherankan bahwa yang sering dikeluhkan di puskesmas adalah tidak
cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat ditemukan pasien
yang benar-benar menderita infeksi bakter, antibiotik yang dibutuhkan sudah
tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah pasien terpaksa diberikan
antibiotik lain yang bukan obat pilihan utama (drug of choice) dari infeksi tersebut.