Minggu, 04 Agustus 2013

MASALAH PELAKSANAAN SIKDA DI SUMBAR

Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah jo to Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, daerah  diberi kewenangan untuk mengembangkan dan melakukan sendiri upaya kesehatan, dan pada gilirannya sistem informasi kesehatan di daerah akan lebih penting peranannya. Sistem ini harus mampu menghasilkan data atau informasi yang memadai untuk menunjang perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta untuk evaluasi berbagai kegiatan kesehatan di tingkat daerah. Regulasi yang mengatur terhadap upaya pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA)  adalah
berdasarkan Surat Keputusan Mendagri Nomor  130-67 Tahun 2002 tentang pelimpahan kewenangan  yang selanjutnya untuk bidang kesehatan diperjelas dengan Surat Sekretaris Jendral Depkes dan Kessos Republik Indonesia Nomor OT.01.SJ.IV.1051 tentang 27 kewenangan pembangunan kesehatan di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, salah satunya adalah kewenangan untuk pengembangan Sistem Informasi
Kesehatan Daerah. Selanjutnya dalam tatalaksana pengembangannya diatur pada Kepmenkes RI Nomor 004/Menkes/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan dan Kepmenkes RI Nomor 932/Menkes/SK/VIII/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) untuk tingkat Kab/Kota. Pengembangan sistem informasi kesehatan tersebut harus sejalan dengan kebijakan desentralisasi.
Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat sebagai unit pelaksana di tingkat Propinsi telah menyikapi kebijakan tersebut dengan mengembangkan   sistem  informasi kesehatan daerah Propinsi Sumatera Barat. Sistem ini  terintegrasi kedalam suatu sistem informasi yang disebut Sistem Informasi Kesehatan daerah ( SIKDA ) yang dibuat dalam bentuk aplikasi dengan berbasiskan WEB. System ini terhubung kedalam satu server yang dapat menghubungkan Puskesmas ( SIM Puskesmas ), Dinas Kesehatan Kabupaten         ( SIKDA Kabupaten ) dan Dinas Kesehatan Provinsi ( SIKDA Provinsi ). Sistem ini  diharapkan mampu menyediakan kebutuhan data dengan alur  informasi tersaji dalam bentuk yang lebih cepat dan akurat . Dengan adanya sistem ini diharapkan pengambilan keputusan terhadap masalah kesehatan dapat berlangsung cepat dan tepat 
            Sebenarnya telah ada   kesepakatan bersama antara Dinas Kesehatan Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota berupa komitmen politis  dengan membuat dukungan kebijakan sebagai landasan pelaksanaan. Membuat komitmen internal tentang pelaksanaan laporan satu pintu . Memberi dukungan sarana dan prasarana , melakukan sharing pembiayaan dimana Provinsi bertanggung jawab terhadap pengembangan aplikasi termasuk dukungan peningkatan kapasitas SDM dan kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap dukungan infrastruktur Dalam perjalanan  ternyata harapan dalam penyediaan data yang cepat dan akurat masih jauh  dari kenyataan. Fakta menunjukkan bahwa partisipasi Puskesmas dalam pemanfatan SIM Puskesmas sangat rendah. 
Dari wawancara awal yang dilakukan rendahnya tingkat pemanfaatan   disebabkan keberadaan SIM Puskesmas tersebut belum mampu mengatasi berbagai persoalan pencatatan / pelaporan di Puskesmas. Fakta  yang terjadi masih terjadi fragmentasi sistem manajemen data yang mengakibatkan terjadinya duplikasi pencatatan baik di tingkat manajemen pasien dan manajemen program. Implikasinya adalah terjadinya redudansi data, inakurasi, inefisiensi dan output informasi yang kurang lengkap  pada beberapa pencatatan dan pelaporan  di Puskesmas.Dari hasil pengamatan awal yang dilakukan di tingkat  manajemen pasien  pencatatan nama pasien, jenis penyakit, dan jenis obat-obatan masih berulang-ulang oleh petugas yang berbeda. Nama pasien saja tercatat di register loket karcis, kertas resep di ruang poliklinik, buku bantu register poliklinik, dan register apotik. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi perbedaan perhitungan sasaran yang direkap dari poliklinik, loket dan apotik di Puskesmas. Kasus serupa juga terjadi cakupan pelayanan kesehatan balita, hasil pelayanan ini tercatat melalui blanko yang berbeda-beda dan petugas pencatat yang berbeda pula. Hasil pelayanan kesehatan balita tercatat di ruang KIA, ruang Imunisasi, dan juga ruang Gizi pada puskesmas yang sama dan petugas yang berbeda sehingga sewaktu evaluasi akhir sering dijumpai perbedaan jumlah sasaran terlayani.
Di tingkat manajemen program permasalahan yang terjadi tidak jauh berbeda. Duplikasi terjadi pada pengisian format laporan program  dengan pengisian pada format laporan  Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP). Secara substansi sebenarnya laporan ini sama , hanya berbeda kelengkapan karena Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas  merupakan gabungan seluruh laporan kegiatan yang terd . Akibat duplikasi tersebut  banyak Puskesmas yang tidak mencatat dan melaporkan kegiatannya dengan formulir SP2TP .
Observasi pendahuluan yang dilakukan tentang alur pencatatan/pelaporan data program di Puskesmas didapatkan bahwa proses  dimulai dari pencatatan kedalam buku  register. Pencatatan pada buku register dilakukan  dengan mengambil data dari  kartu status pasien, kohort ibu, kohort bayi, kartu kunjungan posyandu dan lain sebagainya.Dari buku register tersebut selanjutnya data direkapitulasi menjadi laporan bulanan. laporan bulanan bisa terdiri dari bermacam-macam laporan tergantung kebutuhan, baik untuk kebutuhan Puskesmas sendiri ataupun kebutuhan Dinas Kesehatan dan Kementrian Kesehatan. Permintaan laporan ke Puskesmas terjadi dengan bermacam format yang berbeda walaupun secara substansi sebenarnya laporan yang diminta adalah sama. Ada data yang diminta  dalam format laporan bulanan kegiatan program seperti laporan KIA, laporan P2M , Laporan Gizi dan lain-lain dan ada yang diminta dalam bentuk laporan terpadu SP2TP. Laporan program akan dikirim ke masing-masing direktorat dan laporan SP2TP akan di-input ke dalam software aplikasi SIM Puskesmas di komputer.Laporan yang di input terdiri dari :
  1. Laporan LB.1 : Laporan tentang data kesakitan
  2. Laporan LB.2 : Laporan tentang pemakaian dan permintaan obat
  3. Laporan LB.3 : Laporan kegiatan program KIA,Gizi dan P2M
  4. Laporan LB.4 : Laporan Kegiatan Puskesmas lainnya
  5. Laporan LT.1 : Laporan Data dasar Puskesmas
  6. Laporan LT.3 : Laporan ketenagaan
  7. Laporan LT.3 : Laporan tentang inventaris alat
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada  SIKDA Propinsi diketahui banyak  Puskesmas yang tidak melakukan input data laporan SP2TP  ke dalam  aplikasi SIM Puskesmas.Dari wawancara dengan beberapa pimpinan puskesmas, hal ini karena petugas pengelola program tidak mengisi form SP2TP manual sehingga Petugas pengelola SP2TP tidak bisa melakukan input data ke dalam komputer. Menurut pimpinan puskesmas hal ini disebabkan antara lain :
  • Petugas tidak sempat mengisi karena terlalu banyak laporan
  • Anggapan petugas bahwa laporan  SP2TP tidak penting
  • Laporan SP2TP sudah terdapat pada laporan program
  • Laporan SP2TP dianggap merupakan beban tambahan bagi Puskesmas.
Masalahan lain juga terjadi dalam manajemen Organisasi. Masalah yang terjadi pada informasi keuangan yang sulit diakses secara cepat yang meliputi informasi pembiayaan dari masing-masing pos pelayanan dalam gedung, selain itu juga informasi pengelolaan keuangan kegiatan pembangunan (DASK) yang cenderung terpisah dari keuangan operasional puskesmas. Pengelolaan keuangan terpisah (tidak terintegrasi) antara keuangan hasil retribusi, keuangan proyek, keuangan hasil jasa pelayanan dan pendapatan lainnya menyulitkan pimpinan puskesmas mengakses situasi kapital yang ada di puskesmasnya secara cepat.  Untuk manajemen data kepegawaian dan inventaris alat masih dilakukan secara manual dengan memakai buku bantu. Hal ini sangat menyulitkan terutama untuk mengakses data dengan cepat.

Dari beberapa uraian fungsi manajemen diatas, tergambar bahwa manajemen puskesmas sangat membutuhkan pengelolaan informasi yang akurat. Informasi tersebut berupa informasi pengelolaan program kesehatan yang memperhatikan keutuhan konsep wilayah dan informasi pengelolaan manajemen pasien Selain itu, informasi yang baik terhadap pengelolaan unit penunjang meliputi kepegawaian, keuangan, pengelolaan barang juga dibutuhkan secara efesien dan efektif kepada penggunanya.Berdasarkan momentum tersebut, penyusunan desain sistem informasi manajemen puskesmas dapat dilakukan dengan pendekatan yang memandang pengguna bukan sebagai obyek namun sebagai partisipan. Pendekatan ini berfokus terjadinya perubahan yang melibatkan secara aktif pengguna dan peneliti dalam penyusunan desain.