Rabu, 04 September 2013

TINJAUAN UU PRAKTEK KEDOKTERAN

Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah ditetapkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dan berlaku efektif tanggal 6 Oktober 2005. Undang Undang (UU) yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat ini menuai pro dan kontra dari kalangan profesi kedokteran dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan. UU ini mengatur praktik kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan oleh dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai dokter dan dokter gigi. Di kalangan profesi kedokteran mengharapkan agar UU ini dapat melindungi mereka yang sudah memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi, sedang di kalangan

masyarakat pada umumnya tidak puas karena UU ini tidak menyelesaikan masalah malpraktik yang sangat marak diperbincangkan. Pendapat yang pro kontra demikian wajar terjadi, namun sesungguhnya Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah telah berusaha untuk membuat suatu UU yang mengatur praktik kedokteran agar dapat melindungi semua pihak baik dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan kesehatan maupun masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan. Undang Undang Praktik
Kedokteran ini juga sudah dilakukan yudisial review berdasarkan permohonan dr Anny Isfandyarie S,Sp.An,SH dkk, dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 menyatakan bahwa pasal 75 ayat (1) dan pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1(satu) tahun atau” serta pasal 79 huruf c sepanjang kata-kata “atau huruf e” Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permohonan yudisial review berkaitan dengan ketentuan 3 (tiga) tempat praktik tidak dikabulkan.


Sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Nomor 29 Tahun 2004 bahwa pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :
a. memberikan perlindungan kepada pasien;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut sesuai ketentuan dalam pasal 37 ayat (2) Undang Undang Praktik Kedokteran ditetapkan bahwa surat izin praktik dokter atau dokter gigi hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. Ketentuan ini memang membuat resah rumah sakit dan dokter/dokter gigi utamanya dokter spesialis/super spesialis yang memiliki lebih dari 3(tiga) tempat praktik . Sebelum Undang Undang Praktik Kedokteran ditetapkan ketentuan praktik dokter/dokter gigi didasarkan pada ketentuan PP Nomor 1 Tahun 1988 tentang Masa Bakti dan Praktik Dokter dan Dokter Gigi dan Permenkes 916/ Menkes/Per/VIII/1997 tentang Izin Praktik Bagi Tenaga Medis dimana dalam pasa 4 Permenkes Kepala Dinas Kab/Kota dapat memberikan lebih dari 3 (tiga) tempat praktik untuk memenuhi kebutuhan pelayanan. Klausula ini karena belum diatur dalam UU menjadi pasal yang sangat luwes untuk dilaksanakan apalagi pada waktu itu belum ada ketentuan Surat Tanda Registrasi (STR) yang juga hanya diberikan 3(tiga) copy legalisir asli sebagai dasar permohonan Surat Izin Praktik.
Menurut Dr.dr Fachmi Idris MKes, Ketua PB IDI, jumlah tempat praktik harus ditinjau dari tiga unsur yaitu menjamin kualitas pelayanan, menjamin rasa keadilan dan menjamin terpenuhinya need masyarakat. Menurut IDI pada waktu sidang di Mahkamah Konstitusi, pembatasan tempat praktik tetap diperlukan namun ketentuan mengenai pembatasan itu tidak perlu diatur dalam Undang Undang melainkan cukup diserahkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Dilain pihak PDGI menyampaikan bahwa PDGI setuju akan perlunya ada pemantauan terhadap dokter gigi dalam melakukan kegiatan profesinya, diantaranya dalam bentuk pembatasan tempat praktik maksimum tiga tempat. Sedang menurut Prof Dr Syamsuhidayat sebagai ahli yang diajukan oleh Pemerintah dalam sidang Mahkamah Konstitusi, pasal 37 ayat (2) Undang Undang Praktik Kedokteran dinilai pantas dan tujuannya adalah melindungi dokter dari kemungkinan berbuat kesalahan yang lebih besar. Sejalan dengan hal tersebut Dewan Perwakilan Rakyat dalam keterangan tertulis yang diberikan pada Mahkamah Konstitusi menyampaikan bahwa pembatasan tiga tempat praktik yang diatur dalam pasal 37 ayat (2) Undang Undang Praktik Kedokteran didasarkan pada pertimbangan:
a. menjamin tersedianya waktu yang cukup tepat bagi pelayanan medis;
b. menjamin tersedianya waktu yang cukup bagi dokter dan dokter gigi untuk melakukan penelitian;
c. menghindari monopoli pelayanan medis oleh dokter-dokter yang lebih senior;
d. memberikan kesempatan pada dokter untuk bersaing secara positif dalam pemberian pelayanan kepada pasien;
e. untuk menghindari kelelahan sehingga dokter atau dokter gigi dapat bekerja dengan kualitas yang maksimal;
f. lebih menyebarluaskan tenaga dokter dan dokter gigi ke seluruh penjuru tanah air.
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia dalam keteranganya yang disampaikan pada sidang tersebut, tempat praktik adalah sarana pelayanan kesehatan tempat dokter atau dokter gigi melaksanakan praktik kedokteran/kedokteran giginya. Jumlah tempat praktik sangat menentukan lama waktu dan kualitas komunikasi dokter-pasien, stress dan kelelahan praktisi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas pelayanan medis dan care nya kepada pasien. Jika karena pembatasan tempat praktik menimbulkan kesenjangan asesibilitas pelayanan kedokteran bagi masyarakat maka Pemerintah telah mengatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan.
Sebagaimana diketahui sebagai pelaksanaan Undang Undang tentang Praktik Kedokteran telah ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penyelenggaran Praktik Dokter dan Dokter Gigi yang telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran. Dalam Permenkes tersebut diatur ketentuan 3(tiga) tempat praktik tidak dilaksanakan secara mutlak yang dimaksudkan untuk keterjangkauan pelayanan kesehatan termasuk pemenuhan dokter/dokter gigi spesialis tertentu di fasilitas pelayanan kesehatan. Ketentuan tersebut diatur dalam Permenkes sebagai berikut:

1. Kepentingan Pendidikan 
Pasal 6 ayat (1):
SIP bagi dokter dan dokter gigi sebagai staf pendidik yang melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran gigi pada Rumah Sakit Pendidikan, berlaku juga untuk melakukan proses pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi di Rumah Sakit pendidikan lainnya dan rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya yang dijadikan sebagai jejaring pendidikannya. 

2. Jejaring Pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah
Pasal 8
(1) SIP bagi dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran pada suatu sarana pelayanan kesehatan pemerintah berlaku juga bagi sarana pelayanan kesehatan pemerintah dalam wilayah binaannya.
(2) Sarana pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Rumah Sakit milik Pemerintah, TNI dan POLRI, puskesmas, dan balai kesehatan/balai pengobatan milik Pemerintah.

3. Pemenuhan Pelayanan Dalam Kondisi Tertentu
Pasal 9
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki SIP yang memberikan pelayanan medis atau memberikan konsultasi keahlian dalam hal sebagai berikut:
a. diminta oleh suatu sarana pelayanan kesehatan dalam rangka pemenuhan pelayanan medis yang bersifat khusus, yang tidak terus menerus atau tidak berjadwal tetap;
b. dalam rangka melakukan bakti sosial/kemanusiaan; 
c. dalam rangka tugas kenegaraan;
d. dalam rangka melakukan penanganan bencana atau pertolongan darurat lainnya;
e. dalam rangka memberikan pertolongan pelayanan medis kepada keluarga, tetangga, teman, pelayanan kunjungan rumah dan pertolongan masyarakat tidak mampu yang sifatnya insidentil; 
tidak memerlukan SIP di tempat tersebut . 
(2) Pemberian pelayanan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b, c dan huruf d harus diberitahukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat .
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh institusi penyelenggaranya.
4. Pemberian Surat Tugas Kepada Dokter Spesialis Atau Dokter Gigi Spesialis Tertentu Dalam Rangka Pemenuhan Pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Pasal 10
(1) Untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan medis Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri dapat memberikan surat tugas kepada dokter spesialis atau dokter gigi spesialis tertentu yang telah memiliki SIP untuk bekerja di sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit tertentu tanpa memerlukan SIP di tempat tersebut, berdasarkan permintaan Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota. 
(2) Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(3) Perpanjangan surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimungkinkan sepanjang mendapat persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat atas nama Menteri.

Pemberian surat tugas tersebut memang dapat berarti dokter/dokter gigi diberikan praktik lebih dari 3(tiga) tempat praktik namun diberikan dengan pembatasan tempat dan waktu dengan tujuan untuk memenuhi pelayanan kesehatan. Pembatasan ini dimaksudkan agar fasilitas pelayanan kesehatan secara bertahap dapat menyediakan dokter/dokter gigi sesuai dengan kebutuhan (need) masyarakat dengan tetap memperhatikan kualitas pelayanan. Peranan Pemerintah Daerah dan Organisasi Profesi dalam membantu kebijakan Menteri Kesehatan, sangat diharapkan dalam rangka pemenuhan pemerataan tenaga kesehatan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


SUMBER ;  biro hukum kemenkes









Tidak ada komentar:

Posting Komentar