Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) dimulai dari suatu hasil uji coba yang dilakukan WHO yang mendapatkan penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS yang terutama diakibatkan penggunaan narkoba dengan bertukaran jarum suntik secara sembarangan. Faktanya bahwa pengguna zat psikoaktif khususnya dengan menggunakan jarum suntik (penasun) terus meningkat di Indonesia khususnya di Bali.
Misalnya saja di Jakarta, 68% dari pasien yang berobat ke RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) merupakan pengguna jarum suntik (penasun) dimana 72% dari jumlah tersebut sering menggunakan jarum suntik bekas dan 59% saling tukar jarum suntik. Sementara di Bali dari hasil The Rapid Assessment terhadap penggunaan zat psikoaktif didapatkan bahwa 37% dari 287 responden menggunakan zat psikoaktif dan kebanyakan dari mereka menggunakan jarum suntik. Survei pemeriksaan darah pada pengguna jarum suntik diperoleh hasil 50% HIV positif dan 70% diantara mereka terinfeksi virus hepatitis C.
Penyebaran HIV yang sangat cepat diantara pengguna jarum suntik membutuhkan usaha terapi yang komprehensif. Sehubungan dengan itu, WHO bekerjasama dengan pemerintah Indonesia (DEPKES) mengadakan pilot project berupa Program Rumatan Metadon untuk substitusi heroin dengan menggunakan metadon pada 2 rumah sakit, yaitu RSKO dan RSUP Sanglah dimana uji coba ini berkaitan dengan harm reduction. Proyek ini resmi dimulai di RSUP Sanglah pada 17 Februari 2003 dan mampu bertahan hingga saat ini (lebih dari 5 tahun).
Metadon dipilih sebagai terapi utama substitusi karena memiliki efek menyerupai morfin dan kokain dengan masa kerja yang lebih panjang sehingga dapat diberikan satu kali sehari dan penggunaannya dengan cara diminum. Efek yang ditimbulkan metadon mirip dengan yang ditimbulkan heroin, namun efek “fly”-nya tidak senikmat biasanya pada metadon, sifat ketergantungannya tidak seburuk heroin dan gejala putus obatnya tidak seberat heroin.
1. Kegiatan Biologik :
Efek Metadon secara kualitatif mirip dengan efek morfin dan opioid lainnya. Efek metadon tersebut, antara lain sebagai analgetik, sedatif, depresi pernapasan, dan euforia. Efek lainnya adalah menurunkan tekanan darah, konstriksi pupil, dan efek pada saluran cerna, yaitu memperlambat pengosongan lambung karena mengurangi motilitas, meningkatkan tonus sfingter pilori, dan meningkatkan tonus sfingter Oddi yang berakibat spasme dari saluran empedu.
Efek samping metadon antara lain gangguan tidur, mual-muntah, konstipasi, mulut kering, berkeringat, vasodilatasi dan gatal-gatal, menstruasi tidak teratur, ginekomastia dan disfungsi seksual pada pria, serta retensi cairan dan penambahan berat badan. Efek samping tidak akan terlalu banyak dialami oleh orang yang telah menggunakan heroin.
Bioavailabilitas metadon oral tidak memperlihatkan perubahan yang berarti pada orang yang distabilisasi dengan metadon, atau yang sudah menggunakannya secara kronis. Metadon dipecah di hati melalui sistem enzim sitokrom P450. Sekitar 10 % metadon yang dikonsumsi secara oral akan diekskresi utuh. Sisanya akan dimetabolisme dan metabolit inaktifnya disekresi melalui urin dan tinja. Metadon juga dapat disekresikan melalui keringat dan liur.
Onset efek metadon terjadi sekitar 30 menit setelah obat diminum. Konsentrasi puncak dicapai setelah 3-4 jam setelah metadon diminum. Rata-rata waktu paruh metadon adalah 24 jam. Metadon mencapai kadar tetap dalam tubuh setelah penggunaan 3-10 hari. Setelah stabilisasi dicapai, variasi konsentrasi metadon dalam darah tidak terlalu besar dan supresi gejala putus obat lebih mudah dicapai.
Metadon banyak diikat oleh protein plasma dalam jaringan seluruh tubuh. Metadon dapat diketemukan dalam darah, otak, dan jaringan lain, seperti ginjal, limpa, hati, serta paru-paru. Konsentrasi metadon dalam jaringan tersebut lebih tinggi daripada dalam darah. Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi metadon dalam badan cukup lama bila seseorang berhenti menggunakan metadon.
Adapun kriteria inklusi bagi pengguna sehingga dapat mengikuti program Metadon, yaitu :
A. Memenuhi kriteria DSM-IV untuk diagnosa psikiatri klien dengan “ketergantungan zat”, yaitu :
1. Toleransi, memenuhi salah 1 atau lebih :
4. Adanya keinginan menetap atau usaha yang tidak berhasil untuk menghentikan atau mengendalikan penggunaannya.
5. Sebagian besar waktu habis untuk mencari, menggunakan atau pulih dari zat.
6. Berkurang atau berhentinya kegiatan sosial, pekerjaan, rekreasi karena penggunaan zat.
7. Penggunaan zat berlanjut walau ada permasalahan jasmani dan psikologi.
Dikatakan disertai ketergantungan fisik bila terbukti ada toleransi atau gejala putus obat (poin 1 atau 2). Bila tanpa gejala toleransi atau putus obat dikatakan tidak disertai ketergantungan fisik. Ketergantungan zat apabila didapatkan 3 atau lebih dari yang tersebut diatas dan terjadi kapan saja dalam periode 12 minggu yang sama.
B. Usia 18 tahun atau lebih.
C. Penggunaan Jarum Suntik (Penasun) kronis dengan kriteria :
E. Usia kurang dari 18 tahun dengan alasan khusus.
Sedangkan kriteria eksklusi, sehingga penggunaan tidak dapat ikut program ini :
Klien yang baru datang diterima di bagian pencatatan, disana setiap pasien diwajibkan membayar biaya administrasi sebesar Rp 8.000,00 (2008). Bagi pasien yang baru pertama kali datang akan diterima di bagian pencatatan yang ditangani oleh dua orang dokter umum (Dr. Leni dan Dr.Puri) dengan dibantu oleh seorang perawat disana. Selain identitas, pasien akan ditanyakan keluhannya, riwayat konsumsi alkohol, obat-obatan terutama penggunaan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya), kebiasaan mengkonsumsi alkohol, dan pemeriksaan lain sesuai dengan keluhan, serta indikasi lain yang bermanfaat untuk pengobatan, misalnya saja penting untuk diketahui riwayat konsumsi alkohol bagi pasien dengan penyalahgunaan NAPZA, karena alkohol dapat meningkatkan efek metadon, demikian pula sebaliknya metadon akan memperlambat eleminasi alkohol.
Kemudian dokter akan mengevaluasi daya toleransi pasien terhadap metadon, karena pada prinsipnya sensitifitas masing-masing orang berbeda terhadap segala macam obat termasuk dalam hal ini metadon. Jika tidak dilakukan pengaturan dosis, kita tidak akan tahu sejauh mana toleransi pasien, bahkan keadaannya bisa berbahaya karena pengaruh overdosis metadon, dan bukan karena ketergantungan obat. Hal paling fatal yang bisa terjadi adalah kematian.
Untuk pengaturan dosis, biasanya dosis awal metadon dianjurkan sebanyak 15-30 mg setiap hari selama 3 hari pertama. Kematian sering terjadi bila menggunakan dosis awal melebihi 40 mg. Pasien harus diobservasi selama 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk memantau tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksisitas atau gejala putus obat berat maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Jika ingin menambah dosis obat, maka kriteria berikut harus terpenuhi : ada tanda dan gejala putus obat (objektif dan subjektif), jumlah dosis atau frekuensi penggunaan opioid tidak berkurang, kerinduan terhadap opioid menetap. Gejala putus obat yang biasanya nampak : kesadaran mental yang tidak sesuai, euforia, mual muntah, sakit otot, keluar air mata dan cairan hidung, dilatasi pupil, piloereksi dan berkeringat, diare, menguap serta demam.
Peningkatan dosis harus perlahan-lahan dari dosis awal (fase stabilisasi) sehingga memasuki fase rumatan. Dosis yang direkomendasikan digunakan dalam fase stabilisasi adalah dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5 hari (start slow go slow aim height). Hal ini bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Jika pasien sudah merasa nyaman, dosis dipertahankan antara 40-100 mg/hari selama kurang lebih 18-24 bulan atau peserta memutuskan untuk berhenti (fase rumatan). Dosis yang perharinya dibagi dua diturunkan 10 % tiap minggu dan ketika dosis mencapai 20-30 mg, dosis dikurangi 1 mg per 2 minggu atau dosis tetap selama >1 minggu, sampai akhirnya dihentikan.
Adapun prosedur pembuatan minuman “sirup” metadon yang diterapkan di PTRM Sandat RSUP Sanglah adalah seperti berikut :
Masing-masing pasien memiliki gelas untuk minum obat tersendiri dan telah berisi nomor. Petugas dibagian absen kemudian memanggil pasien, lalu diajak bicara sebentar, agar dapat dipastikan bahwa obat sudah tertelan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pasien tetap menyimpan obat dalam mulutnya lalu dijual di rumah kepada temannya. Setelah petugas yakin, pasien menandatangani buku registrasi kehadirannya setiap hari. Jika ada yang sampai beberapa hari tidak hadir, maka petugas biasanya akan menelepon untuk tahu keadaan pasien.
Bagi pasien baru, penanganannya sedikit berbeda, dimana pasien itu baru boleh pulang setelah diobservasi selama 10–15 menit untuk dievaluasi pengaruh obat yang tidak dapat ditoleransi pasien. Jika ada pasien (baik baru maupun lama) yang muntah setelah minum obat, maka dipikirkan untuk mengganti dosis metadon, dan hal itu harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
Setiap hari kamis diadakan acara temu wicara antara sesama pasien dalam rangka membicarakan permasalahan dan pengalaman yang pernah didapatkan. fisik maupun psikis. Materi konseling berupa penjelasan tentang program rumatan metadon, keuntungan serta kerugian pemakaian metadon dalam perawatan dan rehabilitasi pasien yang mengalami ketergantungan narkoba. Mengingat sebagian besar pasien pernah memakai obat-obatan terlarang dengan cara menyuntikkannya, maka semakin besar pula kemungkinan tertular penyakit seperti HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome), sehingga pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap antibodi anti HIV. Hal ini penting disamping untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sendiri, juga untuk pencegahan penyebaran HIV yang lebih luas di masyarakat.
Kegiatan di PTRM Metadon yang kami amati tidak hanya sebatas pemberian obat lalu pulang, namun lebih dari itu, pasien banyak yang dapat berinteraksi baik dengan perawat di sana, bahkan ada yang bermain gitar dan bermain catur sebelum pulang. dengan sirup minuman untuk langsung diminum dihadapan petugas. Sejauh ini, para klien PTRM telah mengembangkan kegiatan-kegiatan positif seperti mengadakan diskusi kelompok, seminar atau penyuluhan-penyuluhan, rekreasi, olahraga, persembahyangan bersama, bahkan hendak membuat suatu usaha koperasi bersama.
Selama mengikuti program Methadon ini, penderita harus secara rutin mengkonsumsi methadon setiap hari dan menghentikan semua pemakaian Napza yang lainnya. Sedangkan bagian terakhir bertugas memberikan konseling pada saat pra program tentang penjelasan mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan, klien diberitahukan tentang baik buruk methadon, menerima dosis harian methadon dan akan dilakukan pemeriksaan urine sewaktu-waktu. Konseling pada saat program berlangsung, yaitu bila klien menghadapi masalah dan pada saat akan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pada saat penerimaan hasilnya. Serta konseling diberikan pada saat program akan berakhir yaitu sebelum obat dihentikan. Konseling juga diberikan kepada pihak keluarga agar mempunyai persepsi yang sama tentang program yang akan dijalankan serta dapat memberikan dukungan kepada klien yang berobat.
Pemeriksaan laboratorium juga dilakukan antara lain : DL (Darah Lengkap), LFT (Liver Function Test), Hepatitis B dan C, Urine opiate, dan VCT (Voulantery Counseling and Testing). PTRM di RS Sanglah berkolaborasi dengan bagian lain seperti IRD, bagian Penyakit Dalam, bagian Anak, bagian Obstetri dan Ginekologi, serta bagian Gigi & Mulut. Sedangkan di luar RS Sanglah, PTRM berkolaborasi dengan berbagai LSM yang bergerak di bidang NAPZA & HIV/AIDS lainnya termasuk KISARA (Kita Sayang Remaja), Departemen Agama, serta terkoordinasi dalam organisasi Badan Narkotika Propinsi, juga dengan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Propinsi.
Demikianlah gambaran agar dapat mengenal lebih jauh mengenai Program Terapi Rumatan Metadone terutama pada PTRM Sandat sebagai salah satu unit layanan unggulan dari RSUP Sanglah di Bali. Semoga persepsi buruk yang selama ini melekat di benak masyarakat awam bahwa PTRM adalah “tempat nonkrong pemakai narkoba” ataupun “berobat metadon itu sia-sia, tidak mampu menyembuhkan sugesti”, dapat dihapuskan.
Diharapkan informasi ini dapat meningkatkan pengetahuan para peserta mengenai metadon agar mereka dapat mensosialisasikan manfaat PTRM pada para pemakai. Disamping usul usil bersaran bahwa diperlukan adanya kegiatan atau latihan keterampilan bagi peserta setelah minum metadon, sehingga setelah minum metadon peserta punya kesibukan yang positif. Dilakukan juga kerjasama baik lintas program maupun lintas sektoral untuk membantu mengembangkan program ini, sehingga bagi pecandu heroin diluar kota Denpasar yang ingin sembuh, dapat lebih mudah mengakses program ini. Terakhir, mari membangun klinik PTRM serupa di daerah yang lain yang memilki angka penggunaan NAPZA yang tinggi sehingga mudah dapat dijangkau oleh pengguna NAPZA yang ingin melakukan rehabilitasi
Misalnya saja di Jakarta, 68% dari pasien yang berobat ke RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) merupakan pengguna jarum suntik (penasun) dimana 72% dari jumlah tersebut sering menggunakan jarum suntik bekas dan 59% saling tukar jarum suntik. Sementara di Bali dari hasil The Rapid Assessment terhadap penggunaan zat psikoaktif didapatkan bahwa 37% dari 287 responden menggunakan zat psikoaktif dan kebanyakan dari mereka menggunakan jarum suntik. Survei pemeriksaan darah pada pengguna jarum suntik diperoleh hasil 50% HIV positif dan 70% diantara mereka terinfeksi virus hepatitis C.
Penyebaran HIV yang sangat cepat diantara pengguna jarum suntik membutuhkan usaha terapi yang komprehensif. Sehubungan dengan itu, WHO bekerjasama dengan pemerintah Indonesia (DEPKES) mengadakan pilot project berupa Program Rumatan Metadon untuk substitusi heroin dengan menggunakan metadon pada 2 rumah sakit, yaitu RSKO dan RSUP Sanglah dimana uji coba ini berkaitan dengan harm reduction. Proyek ini resmi dimulai di RSUP Sanglah pada 17 Februari 2003 dan mampu bertahan hingga saat ini (lebih dari 5 tahun).
Metadon dipilih sebagai terapi utama substitusi karena memiliki efek menyerupai morfin dan kokain dengan masa kerja yang lebih panjang sehingga dapat diberikan satu kali sehari dan penggunaannya dengan cara diminum. Efek yang ditimbulkan metadon mirip dengan yang ditimbulkan heroin, namun efek “fly”-nya tidak senikmat biasanya pada metadon, sifat ketergantungannya tidak seburuk heroin dan gejala putus obatnya tidak seberat heroin.
Manfaat PTRM
Tujuan utama didirikannya PTRM adalah untuk menilai apakah substitusi metadon dapat diterima sebagai salah satu pilihan untuk pengobatan ketergantungan opiat. Sedangkan tujuan khususnya yaitu sebagai berikut :- Untuk menurunkan pemakaian NAPZA suntik.
- Untuk mencegah penularan penyakit melalui darah seperti HIV/AIDS, Hepatitis B dan C dengan cara mengurangi pemakaian obat melalui suntikan dan bertukar jarum suntik.
- Untuk membantu orang yang ketergantungan obat mencapai keadaan bebas obat dengan cara detoksifikasi dan meningkatkan kualitas hidup.
- Untuk meningkatkan status kesehatan pengguna narkotika dan zat aditif sehingga dapat hidup normal dan produktif melalui PTRM.
Ruang Lingkup PTRM
Program yang dilaksanakan di PTRM berwujud harm reduction berupa upaya untuk mengurangi dampak buruk penggunaan NAPZA dan terapi terhadap ketergantungan kronis opium atau heroin suntik. Program ini dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya holistik, yaitu kegiatan biologik, psikologik, sosial, budaya dan spiritual. Adapun program kegiatan ini, yaitu :1. Kegiatan Biologik :
- Layanan Methadon oral atau minum.
- Pemantauan kesehatan atau fisik oleh dokter umum.
- Sistem rujukan ke poliklinik atau bagian lain di RSUP Sanglah.
- Pemeriksaan laboratorium darah : LFT (Tes Fungsi Hati), Hepatitis B dan C, HIV (VCT), darah lengkap, dan urine opiate.
- Distribusi kondom gratis dengan KIE.
- Pemeriksaan oleh psikiater.
- Layanan konseling (umum, adiksi, dan dukungan).
- Layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing).
- Support Group (kelompok dukungan).
- CBT (Cognitive Behaviour Therapy).
- Pertemuan klien.
- Family Support (dukungan keluarga).
- Bakti sosial.
- Pelestarian lingkungan.
- Kegiatan lain yang didukung oleh organisasi klien.
- Kegiatan pelatihan keterampilan bekerjasama dengan Depsos.
- Pengembangan potensi dan bakat peserta PTRM.
- Siraman rohani semua umat.
- Sembahyang bersama.
Sekilas Mengenai Metadone
Methadone (Metadon) mempunyai khasiat sebagai suatu analgetik dan euforia karena bekerja pada reseptor opioid mu (µ) yang mirip dengan ikatan agonis opioid mu (µ) yang lain, misalnya morfin. Metadon adalah suatu agonis parsial opioid sintetik yang kuat dan secara oral diserap dengan baik. Metadon juga dapat diberikan secara parenteral maupun rektal, meskipun cara pemakaian yang terakhir tidak lazim dikerjakan.Efek Metadon secara kualitatif mirip dengan efek morfin dan opioid lainnya. Efek metadon tersebut, antara lain sebagai analgetik, sedatif, depresi pernapasan, dan euforia. Efek lainnya adalah menurunkan tekanan darah, konstriksi pupil, dan efek pada saluran cerna, yaitu memperlambat pengosongan lambung karena mengurangi motilitas, meningkatkan tonus sfingter pilori, dan meningkatkan tonus sfingter Oddi yang berakibat spasme dari saluran empedu.
Efek samping metadon antara lain gangguan tidur, mual-muntah, konstipasi, mulut kering, berkeringat, vasodilatasi dan gatal-gatal, menstruasi tidak teratur, ginekomastia dan disfungsi seksual pada pria, serta retensi cairan dan penambahan berat badan. Efek samping tidak akan terlalu banyak dialami oleh orang yang telah menggunakan heroin.
Bioavailabilitas metadon oral tidak memperlihatkan perubahan yang berarti pada orang yang distabilisasi dengan metadon, atau yang sudah menggunakannya secara kronis. Metadon dipecah di hati melalui sistem enzim sitokrom P450. Sekitar 10 % metadon yang dikonsumsi secara oral akan diekskresi utuh. Sisanya akan dimetabolisme dan metabolit inaktifnya disekresi melalui urin dan tinja. Metadon juga dapat disekresikan melalui keringat dan liur.
Onset efek metadon terjadi sekitar 30 menit setelah obat diminum. Konsentrasi puncak dicapai setelah 3-4 jam setelah metadon diminum. Rata-rata waktu paruh metadon adalah 24 jam. Metadon mencapai kadar tetap dalam tubuh setelah penggunaan 3-10 hari. Setelah stabilisasi dicapai, variasi konsentrasi metadon dalam darah tidak terlalu besar dan supresi gejala putus obat lebih mudah dicapai.
Metadon banyak diikat oleh protein plasma dalam jaringan seluruh tubuh. Metadon dapat diketemukan dalam darah, otak, dan jaringan lain, seperti ginjal, limpa, hati, serta paru-paru. Konsentrasi metadon dalam jaringan tersebut lebih tinggi daripada dalam darah. Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi metadon dalam badan cukup lama bila seseorang berhenti menggunakan metadon.
Kriteria Klien PTRM
Untuk menjadi peserta PTRM, klien haruslah terlebih dahulu dinilai oleh dokter yang telah diberi ijin untuk meresepkan metadon. Penilaian tersebut mencakup kriteria inklusi dan eksklusi.Adapun kriteria inklusi bagi pengguna sehingga dapat mengikuti program Metadon, yaitu :
A. Memenuhi kriteria DSM-IV untuk diagnosa psikiatri klien dengan “ketergantungan zat”, yaitu :
1. Toleransi, memenuhi salah 1 atau lebih :
- Kebutuhan akan penambahan dosis yang mencolok agar diperoleh keadaan intoksikasi atau efek yang diinginkan.
- Berkurangnya efek secara mencolok karena penggunaan berulang dengan dosis yang sama.
- Sindrom putus zat yang khas pada untuk zat tersebut.
- Zat yang sama harus digunakan untuk menyembuhkan atau menghindari gejala putus obat.
4. Adanya keinginan menetap atau usaha yang tidak berhasil untuk menghentikan atau mengendalikan penggunaannya.
5. Sebagian besar waktu habis untuk mencari, menggunakan atau pulih dari zat.
6. Berkurang atau berhentinya kegiatan sosial, pekerjaan, rekreasi karena penggunaan zat.
7. Penggunaan zat berlanjut walau ada permasalahan jasmani dan psikologi.
Dikatakan disertai ketergantungan fisik bila terbukti ada toleransi atau gejala putus obat (poin 1 atau 2). Bila tanpa gejala toleransi atau putus obat dikatakan tidak disertai ketergantungan fisik. Ketergantungan zat apabila didapatkan 3 atau lebih dari yang tersebut diatas dan terjadi kapan saja dalam periode 12 minggu yang sama.
B. Usia 18 tahun atau lebih.
C. Penggunaan Jarum Suntik (Penasun) kronis dengan kriteria :
- Lama ketergantungan heroin minimal 1 tahun sejak pertama kali menggunakan.
- Berat berdasarkan perkiraan toleransi terhadap heroin (fisik dan psikologi).
- Pernah ikut modalitas terapi lain tetapi gagal.
E. Usia kurang dari 18 tahun dengan alasan khusus.
Sedangkan kriteria eksklusi, sehingga penggunaan tidak dapat ikut program ini :
- Penyakit fisik berat (perlu dipertimbangkan khusus : hal tersebut dipertimbangkan dengan meminta opini kedua).
- Psikosis yang jelas.
- Retardasi mental yang jelas.
- Kelebihan dosis (intoksikasi opiat).
Klien yang baru datang diterima di bagian pencatatan, disana setiap pasien diwajibkan membayar biaya administrasi sebesar Rp 8.000,00 (2008). Bagi pasien yang baru pertama kali datang akan diterima di bagian pencatatan yang ditangani oleh dua orang dokter umum (Dr. Leni dan Dr.Puri) dengan dibantu oleh seorang perawat disana. Selain identitas, pasien akan ditanyakan keluhannya, riwayat konsumsi alkohol, obat-obatan terutama penggunaan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya), kebiasaan mengkonsumsi alkohol, dan pemeriksaan lain sesuai dengan keluhan, serta indikasi lain yang bermanfaat untuk pengobatan, misalnya saja penting untuk diketahui riwayat konsumsi alkohol bagi pasien dengan penyalahgunaan NAPZA, karena alkohol dapat meningkatkan efek metadon, demikian pula sebaliknya metadon akan memperlambat eleminasi alkohol.
Kemudian dokter akan mengevaluasi daya toleransi pasien terhadap metadon, karena pada prinsipnya sensitifitas masing-masing orang berbeda terhadap segala macam obat termasuk dalam hal ini metadon. Jika tidak dilakukan pengaturan dosis, kita tidak akan tahu sejauh mana toleransi pasien, bahkan keadaannya bisa berbahaya karena pengaruh overdosis metadon, dan bukan karena ketergantungan obat. Hal paling fatal yang bisa terjadi adalah kematian.
Untuk pengaturan dosis, biasanya dosis awal metadon dianjurkan sebanyak 15-30 mg setiap hari selama 3 hari pertama. Kematian sering terjadi bila menggunakan dosis awal melebihi 40 mg. Pasien harus diobservasi selama 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk memantau tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Jika terdapat intoksisitas atau gejala putus obat berat maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Jika ingin menambah dosis obat, maka kriteria berikut harus terpenuhi : ada tanda dan gejala putus obat (objektif dan subjektif), jumlah dosis atau frekuensi penggunaan opioid tidak berkurang, kerinduan terhadap opioid menetap. Gejala putus obat yang biasanya nampak : kesadaran mental yang tidak sesuai, euforia, mual muntah, sakit otot, keluar air mata dan cairan hidung, dilatasi pupil, piloereksi dan berkeringat, diare, menguap serta demam.
Peningkatan dosis harus perlahan-lahan dari dosis awal (fase stabilisasi) sehingga memasuki fase rumatan. Dosis yang direkomendasikan digunakan dalam fase stabilisasi adalah dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5 hari (start slow go slow aim height). Hal ini bertujuan untuk melihat efek dari dosis yang sedang diberikan. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg. Jika pasien sudah merasa nyaman, dosis dipertahankan antara 40-100 mg/hari selama kurang lebih 18-24 bulan atau peserta memutuskan untuk berhenti (fase rumatan). Dosis yang perharinya dibagi dua diturunkan 10 % tiap minggu dan ketika dosis mencapai 20-30 mg, dosis dikurangi 1 mg per 2 minggu atau dosis tetap selama >1 minggu, sampai akhirnya dihentikan.
Adapun prosedur pembuatan minuman “sirup” metadon yang diterapkan di PTRM Sandat RSUP Sanglah adalah seperti berikut :
- Masukkan air minum ± 90 cc kedalam gelas yang bersih dan telah disterilkan.
- Masukkan sirup ± 10 cc ke dalam gelas tadi.
- Takar metadon sesuai dengan dosis yang ditentukan (10 mg dosis methadon setara dengan 1 ml preparat methadon).
- Masukkan metadon ke dalam gelas yang telah berisi air sirup tersebut, aduk-aduk hingga rata dan berikan kepada pasien untuk diminum.
Masing-masing pasien memiliki gelas untuk minum obat tersendiri dan telah berisi nomor. Petugas dibagian absen kemudian memanggil pasien, lalu diajak bicara sebentar, agar dapat dipastikan bahwa obat sudah tertelan. Hal ini dilakukan untuk menghindari pasien tetap menyimpan obat dalam mulutnya lalu dijual di rumah kepada temannya. Setelah petugas yakin, pasien menandatangani buku registrasi kehadirannya setiap hari. Jika ada yang sampai beberapa hari tidak hadir, maka petugas biasanya akan menelepon untuk tahu keadaan pasien.
Bagi pasien baru, penanganannya sedikit berbeda, dimana pasien itu baru boleh pulang setelah diobservasi selama 10–15 menit untuk dievaluasi pengaruh obat yang tidak dapat ditoleransi pasien. Jika ada pasien (baik baru maupun lama) yang muntah setelah minum obat, maka dipikirkan untuk mengganti dosis metadon, dan hal itu harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Muntah <10 menit sesudah ditelan, beri dosis pengganti penuh (100%).
- Muntah 10-30 menit sesudah ditelan, beri dosis pengganti sebanyak 50%.
- Muntah 30-45 menit sesudah ditelan, beri dosis pengganti sebanyak 25%.
- Muntah >45 menit sesudah ditelan, tidak diberikan dosis pengganti.
- Secara klinis pasien telah stabil.
- Pasien tampak stabil secara sosial dan kognitif-emosional.
- Lamanya mengikuti program PTRM lebih dari 2 bulan.
- Pasien menunjukkan sikap atau perilaku yang kooperatif dengan faktor penunjang lainnya seperti dukungan keluarga, kawan atau pendamping.
- Alasan bawa pulang diperkuat dengan informasi dari keluarga.
- Untuk kebijaksanaan memberikan dosis bawa pulang hal yang perlu diperhatikan adalah agar mewaspadai perilaku memperjual-belikan metadon di pasaran oleh pasien sendiri. Dosis bawa pulang ini tidak boleh menjadi sesuatu yang reguler, harus pada keadaan mendesak.
Setiap hari kamis diadakan acara temu wicara antara sesama pasien dalam rangka membicarakan permasalahan dan pengalaman yang pernah didapatkan. fisik maupun psikis. Materi konseling berupa penjelasan tentang program rumatan metadon, keuntungan serta kerugian pemakaian metadon dalam perawatan dan rehabilitasi pasien yang mengalami ketergantungan narkoba. Mengingat sebagian besar pasien pernah memakai obat-obatan terlarang dengan cara menyuntikkannya, maka semakin besar pula kemungkinan tertular penyakit seperti HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome), sehingga pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap antibodi anti HIV. Hal ini penting disamping untuk meningkatkan kualitas hidup pasien sendiri, juga untuk pencegahan penyebaran HIV yang lebih luas di masyarakat.
Kegiatan di PTRM Metadon yang kami amati tidak hanya sebatas pemberian obat lalu pulang, namun lebih dari itu, pasien banyak yang dapat berinteraksi baik dengan perawat di sana, bahkan ada yang bermain gitar dan bermain catur sebelum pulang. dengan sirup minuman untuk langsung diminum dihadapan petugas. Sejauh ini, para klien PTRM telah mengembangkan kegiatan-kegiatan positif seperti mengadakan diskusi kelompok, seminar atau penyuluhan-penyuluhan, rekreasi, olahraga, persembahyangan bersama, bahkan hendak membuat suatu usaha koperasi bersama.
Selama mengikuti program Methadon ini, penderita harus secara rutin mengkonsumsi methadon setiap hari dan menghentikan semua pemakaian Napza yang lainnya. Sedangkan bagian terakhir bertugas memberikan konseling pada saat pra program tentang penjelasan mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan, klien diberitahukan tentang baik buruk methadon, menerima dosis harian methadon dan akan dilakukan pemeriksaan urine sewaktu-waktu. Konseling pada saat program berlangsung, yaitu bila klien menghadapi masalah dan pada saat akan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pada saat penerimaan hasilnya. Serta konseling diberikan pada saat program akan berakhir yaitu sebelum obat dihentikan. Konseling juga diberikan kepada pihak keluarga agar mempunyai persepsi yang sama tentang program yang akan dijalankan serta dapat memberikan dukungan kepada klien yang berobat.
Pemeriksaan laboratorium juga dilakukan antara lain : DL (Darah Lengkap), LFT (Liver Function Test), Hepatitis B dan C, Urine opiate, dan VCT (Voulantery Counseling and Testing). PTRM di RS Sanglah berkolaborasi dengan bagian lain seperti IRD, bagian Penyakit Dalam, bagian Anak, bagian Obstetri dan Ginekologi, serta bagian Gigi & Mulut. Sedangkan di luar RS Sanglah, PTRM berkolaborasi dengan berbagai LSM yang bergerak di bidang NAPZA & HIV/AIDS lainnya termasuk KISARA (Kita Sayang Remaja), Departemen Agama, serta terkoordinasi dalam organisasi Badan Narkotika Propinsi, juga dengan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Propinsi.
Demikianlah gambaran agar dapat mengenal lebih jauh mengenai Program Terapi Rumatan Metadone terutama pada PTRM Sandat sebagai salah satu unit layanan unggulan dari RSUP Sanglah di Bali. Semoga persepsi buruk yang selama ini melekat di benak masyarakat awam bahwa PTRM adalah “tempat nonkrong pemakai narkoba” ataupun “berobat metadon itu sia-sia, tidak mampu menyembuhkan sugesti”, dapat dihapuskan.
Diharapkan informasi ini dapat meningkatkan pengetahuan para peserta mengenai metadon agar mereka dapat mensosialisasikan manfaat PTRM pada para pemakai. Disamping usul usil bersaran bahwa diperlukan adanya kegiatan atau latihan keterampilan bagi peserta setelah minum metadon, sehingga setelah minum metadon peserta punya kesibukan yang positif. Dilakukan juga kerjasama baik lintas program maupun lintas sektoral untuk membantu mengembangkan program ini, sehingga bagi pecandu heroin diluar kota Denpasar yang ingin sembuh, dapat lebih mudah mengakses program ini. Terakhir, mari membangun klinik PTRM serupa di daerah yang lain yang memilki angka penggunaan NAPZA yang tinggi sehingga mudah dapat dijangkau oleh pengguna NAPZA yang ingin melakukan rehabilitasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar