Jumat, 20 Juli 2012

Pemeriksaan Laboratorium Untuk HIV

TES DIAGNOSIS

Tes laboratorium untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu tes yang mencari adanya virus tersebut dalam tubuh penderita :

IV.1. Mencari virus dalam darah penderita
- kultur/biakan virus
- deteksi antigen ; p24
- PCR (polymerase chain reaction)

IV.2. Mencari adanya antibodi terhadap berbagai komponen virion HIV dalam serum penderita (tes serologik)
- Tes Enzyme Linked Immunosorbent Assay (EIA/ELISA)
- Tes sederhana / cepat (tes imunokromatografi)
- Tes konfirmasi sepert Western Blot (WB), Indirect immunofluorescence assay (IFA)

IV.3. Tes Tambahan
Tes tambahan ini meliputi :
- Urinalisis, tes feces lengkap, fungsi hati (SGOT/SGPT)
- LDH, alkali fosfatase, bilirubin
- Fungsi ginjal (ureum/creatinin)

Namun jenis tes yang tersering dipakai sehari-hari adalah deteksi antibodi (anti-HIV).6 Diagnosis infeksi HIV biasanya ditentukan dengan ditemukannya antibodi terhadap HIV dalam darah penderita. Laboratorium di Indonesia melakukan tes terhadap HIV untuk menegakkan diagnosis, penapisan darah transfusi, epidemiologi dan penelitian, setelah menandatangani inform consent dari V.C.T (Voluntary Conseling and Test)

Tes serologik untuk mendeteksi anti-HIV dapat dikelompokkan menjadi tes saring dan tes konfirmasi. Yang termasuk tes saring yaitu; tes EIA/Elisa, dan tes rapid/sederhana , tes konfirmasi yaitu; western blot, IFA. Setelah tes saring dapat diidentifikasi spesimen yang kemungkinan mengandung anti-HIV, sedangkan setelah tes konfirmasi dapat diketahui bahwa spesimen yang reaktif pada tes penyaring mengandung antibodi spesifk terhadap HIV.

UNAIDS dan WHO menyarankan pemakaian 3 strategi tes yang baru saja diperbarui untuk meningkatkan ketepatan dan mengurangi biaya tes dan telah diterima oleh Departemen Kesehatan.

Keamanan transfusi/transplantasi : strategi I

Surveilans :
<10% prevalensi : Strategi I
>10% prevalensi : Strategi II

Diagnosis :
Terdapat gejala klinik infeksi HIV :
<30% prevalensi : Strategi I
>30% prevalensi : Strategi II
Tanpa gejala klinik infeksi HIV :
<10% prevalensi : strategi II
>10% prevalensi : Strategi III

Strategi I.
1. Serum atau plasma pasien diperiksa dengan menggunakan simple/rapid (S/R) tes atau dengan Enzyme Immuno Assay/EIA (disebut tes A1)
2. Untuk tujuan transfusi darah atau transplantasi organ, gunakan reagen yang dapat mendeteksi HIV-1 dan HIV-2 serta mem[punyai sensitivitas yang tinggi (> 99%)
3. Bila tes (A1) menunjukkan hasil reaktif, laporkan dengan reaktif, sedangkan bila hasilnya non-reaktif maka laporkan NEGATIF

Strategi II.
1. Serum atau plasma pasien diperiksa dengan menggunakan simple/rapid (S/R) atau dengan Enzyme Immuno Assay/EIA (disebut tes A1)
2. Bila hasil tes A1 menunjukkan non-reaktif, laporkan NEGATIF, sedangkan bila hasil tes menunjukkan reaktif harus dilakukan tes ulang dengan menggunakan reagen dengan preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama (disebut tes A2)
3. Bila hasil tes A2 menunjukkan reaktif, laporkan hasil tersebut dengan reaktif. Sedangkan bila hasil tes A2 menunjukkan non-reaktif, ulangi tes dengan menggunakan reagen yang digunakan pada tes A1 dan tes A2
4. Bila pada tes ulang menunjukkan hasil tes A1 dan A2 reaktif, laporkan sebagai reaktif, bila salah satu hasil tes (tes A1 atau A2) menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai INDETERMINATE. Dan bila ke dua tes A1 dan A2 menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai NEGATIF
5. Reagen untuk tes A1 memiliki sensitivitas yang tertinggi, sedangkan untuk tes A2 harus memiliki spesifisitas yang lebih tinggi daripada tes A1

Strategi III.
1. Serum atau plasma pasien di tes dengan menggunakan simple/rapid (S/R) tes atau dengan Enzyme Immuno Assay (disebut tes A1)
2. Bila hasil tes A1 menunjukkan non-reaktif, laporkan NEGATIF. Sedangkan bila hasil tes menunjukkan reaktif, harus dilakukan tes ulang dengan menggunakan reagen dengan preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama (disebut tes A2)
3. Bila hasil tes A2 menunjukkan non-reaktif, ulangi tes dengan menggunakan reagen yang digunakan pada tes A1 dan tes A2. Pada tes ulang, bila hasil tes A1 dan A2 menunjukkan non-reaktif, laporkan sebagai NEGATIF
4. Bila hasil tes A1 dan A2 menunjukkan reaktif atau salah satu tes (tes A1 atau A2) menunjukkan non-reaktif, lakukan tes ulang menggunakan reagen dengan preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama maupun kedua (disebut tes A3)
5. Bila hasil tes A1, A2 dan A3 menunjukkan reaktif, laporkan sebagai REAKTIF
6. Bila hasil tes A1 dan A2 reaktif serta A3 non reaktif, atau tes A1 dan A3 reaktif serta A2 non-reaktif, laporkan sebagai INDETERMINATE
7. Bila hasil tes A2 dan A3 non-reaktif serta pasien dari daerah dengan prevalensi > 10% (beresiko tinggi), laporkan sebagai INDETERMINATE. Sedangkan bila pasien berasal dari daerah dengan prevalensi <10% (beresiko rendah), dapat dianggap sebagai NEGATIF.
8. Reagen untuk tes A2 harus memilki spesifisitas yang lebih tinggi daripada tes A1 dan untuk tes A3 harus memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari tes A2
Bila hasil tes dilaporkan indeterminate, maka tes perlu diulangi 6 bulan dan 12 bulan kemudian

Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada tes didasarkan pada sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagen. Reagen yang dipakai pada tes pertama adalah reagensia yang memiliki sensitivitas tertinggi, sebaiknya > 99%, sedangkan reagensia pada tes selanjutnya (kedua dan ketiga) memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dari yang pertama, untuk tujuan surveilans harus memiliki spesifisitas minimal sebesar 95% dan untuk tujuan diagnosis memiki spesifisitas minimal sebesar 98%.

Pada bayi yang baru lahir dengan ibu terinfeksi HIV, dilakukan tes anti-HIV setelah berumur 18 bulan, atau kalau sarana tersedia dapat dilakukan tes antigen
Pada seseorang yang terpapar darah penderita HIV (jarum suntik), bila hasil tes HIV negatip pada 4 bulan setelah terpapar, dilanjutkan dengan tes tiap 3 bulan selama 1 tahun, bila hasil tetap negatif, penderita bebas dari infeksi HIV