Minggu, 09 Juni 2013

KONDOM BUKAN SOLUSI

Kondom menjadi andalan pencegahan HIV/AIDS. Ini bisa jadi karena banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa efektivitas kondom dalam mencegah kehamilan mencapai 90 persen. Kegagalan sebesar 10 persen lebih banyak dinisbahkan pada penggunaan yang tidak tepat seperti ukuran terlalu sempit, terlalu longgar, robek saat disarungkan, robek saat digunakan, atau berlubang karena cacat produksi. Kemampuan kondom mencegah lewatnya sperma ini karena ukuran pori-pori kondom terkecil 5 mikron hampir sama dengan diameter terbesar  sperma 3,5 mikron. Selain sempit, sperma pun akan kesulitan berenang menembus kondom karena ketebalan kondom paling tipis mencapai  194 kali diameter kepalanya.Tapi bagaimana
dengan efektivitasnya untuk mencegah HIV? Kalau melihat ukuran virus itu yakni sebesar 0,1 mikron, maka pori-pori kondom sangat mudah dilewati. Ini seperti kelereng yang melewati gorong-gorong. Saat ini, ketebalan kondom yang dijual di pasar berkisar antara 483 – 635 mikron. Sedangkan kisaran pori-pori kondom-kondom tersebut  saat tidak direntangkan adalah 5 – 50 mikron. Inilah mengapa kondom tidak menjamin pemakainya tidak menularkan atau tertulari HIV/AIDS dari pasangannya yang ODHA.
Alan Guttmacher Institute pada tahun 1989 menemukan kegagalan kondom mencegah penularan HIV/AIDS mencapai 22.3 persen. British Journal of Medicine pada tahun 1987 mencapai 26 persen, dan New England Journal of Medicine pada tahun 1989 mencapai 33 persen. Artinya, kondom bukanlah penjamin terbebasnya orang dari penyakit ini.
Menarik sekali beberapa opini yang ditampilkan pada kolom Surat Pembaca akhir-akhir ini tentang HIV/AIDS dan kondom, ada anggapan bahwa pemakaian kondom useless karena ternyata kondom berpori-pori sehingga virus HIV atau mikroorganisme penyebab Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya bisa menembus barrier ini dan menginfeksi pasangan seksual . Bahkan solusi pembagian kondom di lokalisasi dianggap tidak efektif, melindungi moral bangsa dari dekandensi moral dan cenderung menghalalkan perilaku hedonis seperti seks bebas dan prostitusi .Sejarah pemakaian kondom dimulai ketika orang jaman dahulu berusaha melakukan berbagai upaya pencegahan kehamilan dan IMS dengan metode trial and error. Metodenye meliputi coitus interuptus, pantang berkala dan pembilasan (douching) pasca senggama yang semuanya sekarang menjadi bagian dari kontrasepsi. Kondom jaman dulu dibuat dari usus kambing, dan permulaan pemakaian kondom di Eropa dimulai saat pada abad ke-16, ketika penyakit kelamin Syphilis (raja singa) menjadi epidemi luas. Pada tahun 1564, seorang dokter berkebangsaan Italia Gabriel Falloppio mengemukakan pendapatnya bahwa kantung linen yang dibasahi dengan larutan berisi garam dan racikan tumbuh-tumbuhan membantu mencegah penyakit. Pada abad ke-18, kondom terbuat dari linen dan sutra dipakai sebagai ’sarung’ sebagaimana kondom yang dibuat dari usus domba atau kambing. Untuk mencegah terlepasnya kondom tradisonal tadi diikatkan semacam pita pada bagian belakang kondom yang sudah membungkus penis.Kata kondom mungkin diadopsi dari bahasa latin ’condus’ yang berarti wadah atau penampung dalam bahasa Inggris. Kita tidak mengenal dengan pasti siapa yang menemukan kondom pertama kali tetapi kita mengetahui orang-orang jaman dahulu sudah menggunakannya.Seiring perkembangan teknologi maka kemudian alat pencegahan kehamilan dan IMS tersebut diproduksi  dari  bahan karet untuk pertama kalinya pada tahun 1884 dan latex yang pertama kali di produksi pada tahun 1930.
Kondom sekarang ini lebih difungsikan sebagai penghambat atau barrier yang dapat mencegah darah, lendir, sperma atau cairan vagina berpindah pada pasangan selama melakukan hubungan seks.
Lalu bagaimana kualitasnya? Apakah kita masih akan menyangsikan efektifitas kondom sebagai upaya pencegahan Infeksi Menular Seksual dan HIV/ AIDS? Bukankah salah satu kampanye ABCD pencegahan yang paling sering dielu-elukan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi dan non resiko tinggi mencantumkan kondom. Kampanye ABCD yaitu Abstinence (pantang berhubungan seks), Be Faithful (saling setia), Condom (pemakaian kondom) dan Don’t share needle (jangan bergantian jarum suntik). Efektifitas nya juga dipengaruhi penggunanya, konsistensi dan pemakaian yang tepat serta benar wajib dilakukan disaat melakukan hubungan seksual yang beresiko. Alasan kondom berpori tidak tepat karena kondom sekarang berbahan latek sintetik yang telah melewati serangkaian uji coba produk yang berlaku, berbeda jika saat ini masih ada orang yang memakai kondom dari usus kambing.
Sebelum kondom di launching ke pasaran, ada beberapa standar internasional yang digunakan, yaitu yang ditetapkan oleh salah satu badan berikut:

  • International Organization for Standardization (ISO)
  • Comite Europeen de Normalisation (CEN)
  • American Society for Testing and Materials (ASTM)

Standar ini menjadi ukuran penilaian  yang dpakai oleh pabrik, pemerintah maupun pembeli jumlah besar. Ada juga standar yang ditetapkan oleh “pembeli dalam jumlah besar”, yaitu WHO dan USAID, berkaitan dengan upaya pencegahan laju pertambahan penderita IMS dengan pembagian paket kondom kepada kelompok masyarakat resiko tinggi. Standar pembeli ini biasanya mengacu pada salah satu standar dari ketiga badan di atas. Standar yang ditetapkan ketiga badan ini adalah minimum produk dianggap memenuhi persyaratan dalam uji laboratorium.

DIKUTIP DARI BERBAGAI SUMBER