Sabtu, 04 Agustus 2012

WABAH/KLB PENYAKIT MENULAR





Melalui pembekalan materi ini peserta latih akan mempelajari prinsip dan langkah dalam melakukan investigasi dan pengendalian wabah/KLB penyakit menular serta pengendalian dampak bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat perbuatan manusia.

Pengertian

Pengertian KLB (Kejadian Luar Biasa) menurut Departemen Kesehatan RI (2004) adalah: “Timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah”.


KLB dapat terjadi dalam lingkup:
1.    penyakit menular, misalnya diare, kolera, meningitis, flu burung, dll.
2.    penyakit tidak menular, misalnya cedera/kecelakaan, intoksikasi bahan berbahaya, bencana alam, gangguan kejiawaan dll.

Kata wabah yang merupakan terjemahan dari kata epidemic (epi=pada, demos=penduduk) yang secara umum memiliki makna terjadinya kasus-kasus penyakit, kejadian atau perilaku spesifik terkait kesehatan, pada suatu komunitas atau daerah, yang secara jelas frekuensi kejadiannya melebihi perkiraan normal (Last, 1995; Weber dkk dalam Thomas dan Weber, 2001; Chin, 2000; Dwyer dan Groves, dalam Nelson, dkk, 2005; Giesecke, 1994). Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan yaitu peningkatan kasus yang melebihi situasi yang lazim/normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan yang sudah kritis, gawat atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada wilayah yang lebih luas. 

Secara khusus Departemen Kesehatan (2004) membatasi pengertian wabah sbb: ”Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”.

Untuk menetapkan dan mencabut ketentuan bahwa daerah tertentu dalam wilayah Indonesia merupakan daerah wabah diperlukan ketetapan Menteri Kesehatan RI, sesuai UU No.4. tahun 1984, tentang Wabah Penyakit Menular.


Tujuan dan Prinsip-Prinsip Investigasi KLB/Wabah


1.    Tujuan Investigasi KLB/Wabah
Tujuan utama investigasi KLB/wabah (Weber, dkk dalam Thomas dan Weber, 2001; CDC, 1992) adalah:
a.     Mengidentifikasi dengan cepat sumber dan reservoir dari KLB/wabah
b.     Melaksanakan intervensi untuk menanggulangi dan mengeliminasi KLB/wabah
c.     Mengembangkan kebijakan untuk mencegah KLB/wabah di masa datang

2.    Prinsip-prinsip Investigasi KLB/Wabah
Prinsip-prinsip dasar investigasi KLB/wabah (Thomas dan Weber, 2001) adalah sbb:
  1. Walaupun secara teoritis langkah-langkah investigasi KLB/wabah terdiri dari beberapa tahapan yang berurutan, namun dalam prakteknya proses investigasi wabah bersifat dinamis dan berbagai kegiatan dapat dilaksanakan secara simultan.
  2. Teramat penting untuk senantiasa memelihara komunikasi antara berbagai pihak yang bekentingan dalam invenstigasi dan penanggulangan wabah, seperti Tim Kesehatan Haji, Balai Pengobatan, Daerah Kerja, Departemen Kesehatan dan Agama, bahkan jemaah haji itu sendiri.
  3. Prinsip-prinsip epidemiologi dan statistik, khususnya berkenaan dengan rancangan studi dan analisis harus diterakan secara benar (appropriate).
  4. Semua tahapan investigasi dan proses pengumpulan data/informasi harus direkam/dicatat secara teliti dan hati-hati.
  5. Tinjauan (review) yang kritis dan hati-hati harus dilakukan berdasarkan kepustakaan ilmiah yang relevan.
  6. Tim kesehatan yang melakukan investigasi KLB/wabah harus senantiasa berpikiran terbuka terhadap berbagai kemungkinan sumber KLB/wabah yang belum terungkap.

Langkah-langkah Investigasi KLB/Wabah


Langkah-langkah investigasi KLB/wabah (CDC, 1992; Dwyer dan Groves, dalam Nelson, dkk, 2005) meliputi beberapa tahapan sebagai berikut:

1.    Persiapan lapangan
Pada tahap ini harus dipersiapkan 3 kategori:
a.    Persiapan investigasi
Termasuk dalam kategori ini adalah mempersiapkan:
-          pengetahuan tentang berbagai penyakit yang potensial menjadi KLB/wabah
-          pengetahuan tentang dan ketrampilan melakukan investigasi lapangan, termasuk pengetahuan & teknik pengumpulan data dan manajemen spesimen
-          pengetahuan dan ketrampilan melakukan analisis data dengan komputer
-          dukungan tinjauan kepustakaan ilmiah yang memadai
-          material dan instrumen investigasi, seperti kuesioner, bahan/sediaan spesimen dan tes laboratorium  

b.    Persiapan administrasi
Dalam kategori ini tim kesehatan harus mempersiapkan aspek administratif dari investigasi seperti: penyediaan perijinan, surat-surat atau dokumen formal/legal dalam melakukan investigasi, penyediaan dana yang memadai, transportasi yang dapat diandalkan, kerapian dalam dokumentasi, pembagian tugas dan koordinasi dalam tim kesehatan, dll.

c.     Persiapan konsultasi
Pada tahap ini sudah harus dipikirkan peran dan posisi tim kesehatan dalam proses investigasi. Sebelum melakukan investigasi harus jelas, apakah tim kesehatan memiliki peran langsung memimpin investigasi, atau hanya mitra dari pejabat/petugas kesehatan setempat (misalnya tim atau organisasi kesehatan Arab Saudi), atau berperan memberikan bantuan konsultasi terhadap pejabat/petugas lokal. Mengenal dan menjalin kerjasama dengan petugas/staf/kontak lokal serta otoritas setempat adalah sangat penting.

2.    Konfirmasi kejadian KLB/wabah dan verifikasi diagnosis

  1. Konfirmasi kejadian KLB/wabah
Pada situasi KLB/wabah, umumnya diasumsikan bahwa semua kasus-kasus yang muncul saling terkait satu sama lain dan terjadi akibat hal atau sebab yang sama. Oleh karena itu harus dipastikan bahwa:
1)    Kumpulan kejadian kesakitan (cluster) tersebut memang merupakan peningkatan tidak wajar dari kasus-kasus yang saling berhubungan dan memiliki sebab yang sama dan bukannya cluster sporadis kasus-kasus penyakit yang sama tapi tidak saling berhubungan atau bahkan kumpulan kasus-kasus yang mirip yang sebenarnya berasal dari beberapa penyakit yang berbeda.
2)    Jumlah kasus memang melebihi yang diperkirakan (expected). Bagaimana mengetahui jumlah kasus yang diperkirakan? Biasanya perkiraan dapat dilakukan dengan membandingkan dengan jumlah kasus pada minggu atau bulan sebelumnya, atau dengan bulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Data tentang jumlah kasus sebelumnya tentu harus diperoleh dari berbagai sumber-sumber data yang tersedia di wilayah tersebut baik dari sistem surveilens lokal, pencatatan dan pelaporan yang rutin di komunitas atau di berbagai fasilitas kesehatan lokal, kegiatan survei atau asesmen yang bersifat ad-hoc, dll.
3)    Peningkatan jumlah kasus yang melebihi yang diperkirakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor-faktor lain yang artifisal (diluar peningkatan insiden penyakit yang sesungguhnya), seperti misalnya peningkatan karena:
-         perubahan definisi kasus
-         peningkatan kegiatan penemuan kasus (case finding)
-         peningkatan sistem/prosedur pelaporan lokal
-         peningkatan kesadaran masyarakat untuk mecari pengobatan
-         penambahan besar populasi
-         dll.

  1. Verifikasi Diagnosis
Tujuan verifikasi diagnosis adalah:
1)    memastikan bahwa penyakit/masalah kesehatan yang muncul memang telah didiagnosis secara tepat dan cermat.
2)    menyingkirkan kemungkinan kesalahan pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung diagnostik.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan:
1)    ketrampilan klinis yang memadai dari tim kesehatan
2)    kualitas pemeriksaan lab yang baik dan memenuhi standar tertentu yang diharapkan
3)    komunikasi yang baik antara tim kesehatan dan jamaah sakit, untuk menggali secara lebih akurat riwayat penyakit dan pajanan potensial


3.    Penentuan definisi kasus, identifikasi dan penghitungan  kasus dan pajanan

  1. Penentuan definisi kasus
Definisi kasus adalah kumpulan (set) yang standar tentang kriteria klinis untuk menentukan apakah seseorang dapat diklasifikasikan sebagai penderita penyakit tsb. Definis kasus dalam konteks KLB/wabah haruslah dibatasi oleh karateristik tertentu dari, orang tempat dan waktu. Sekali ditetapkan maka definisi kasus ini harus dipakai secara konsisten pada semua situasi dalam investigasi.

Berdasarkan derajat ketidakpastiannya diagnosis kasus dapat dibagi menjadi:
1)    Kasus definitif/konfirmatif (definite/confirmed case) adalah diagnosis kasus yang dianggap pasti berdasarkan verifikasi laboratorium
2)    Kasus sangat mungkin (probable case) adalah diagnosis kasus yang ditegakkan berdasarkan  berbagai gambaran klinis yang khas tanpa verifikasi laboratorium
3)    Kasus mungkin/dicurigai (possible/suspected case) adalah diagnosis kasus yang ditegakkan berdasarkan  sedikit gambaran klinis yang khas tanpa verifikasi laboratorium.  

  1. Identifikasi dan penghitungan kasus dan pajanan
Dalam rangka menghitung kasus, terlebih dahulu harus dipikirkan mekanisme untuk mengidentifikasi kasus dari berbagai sumber kasus yang mungkin, seperti dari/di:
1.    fasilitas kesehatan, seperti BPHI, Pos Medik, RS Arab Saudi, dll.
2.    pemukiman jamaah
3.    sarana transportasi seperti pesawat
4.    jemaah yang sakit atau keluarganya
5.    dll.

Informasi yang dapat digali dari setiap kasus adalah:
1.    identitas kasus, misal: nama, no. jamaah, no. kloter, nama asal embarkasi, no/nama rombongan no/nama regu, dll.
2.    karateristik demografis, misal; umur, jenis kelamin, suku, pekerjaan
3.    karateristik klinis, misal riwayat penyakit, keluhan dan tanda sakit yang dialami, serta hasil lab
4.    karateristik faktor-faktor risikoyang berkaitan dengan sebab-sebab penyakit dan faktor-faktor pemajanan spesifik yang relevan dengan penyakit yang diteliti.
5.    informasi pelapor kasus.

Berbagai informasi tersebut biasanya direkam dalam format pelaporan yang standar, kuesioner atau form abstraksi/kompilasi data. Form abstraksi/kompilasi data berisi pilihan informasi-informasi terpenting yang perlu didata untuk setiap kasus. Bentuk format kompilasi tsb berupa baris-baris daftar kasus (line listing). Pada format line listing ini setiap kasus yang ditemui diletakkan pada setiap baris, sementara setiap kolomnya berisi variabel penting kasus tsb. Kasus baru akan dimasukkan/ditambahkan pada baris di bawah kasus sebelumnya, sehingga kita dapat memiliki daftar kasus yang selalu diperbaharui (up-dated) berikut jumlahnya dari waktu ke waktu.



4.    Tabulasi data epidemiologi deskriptif berdasarkan orang, tempat dan waktu

KLB/wabah dapat digambarkan secara epidemiologis dengan melakukan tabulasi data frekuensi distribusi kasusnya menurut karakteristik orang, tempat dan waktu. Penggambaran ini disebut epidemiologi deskriptif.

Tabulasi data frekuensi distribusi kasus berdasarkan karateristik orang dilakukan untuk melihat apakah karakteristik orang/populasi tertentu memberikan tingkat risiko tertentu untuk terjadinya penyakit. Karateristik orang yang lazim diteliti adalah karakteristik demografis, klinis dan pajanan, sebagaimana telah dicontohkan dalam butir IV.3.2.

Deskripsi data frekuensi distribusi kasus berdasarkan karateristik tempat dimaksudkan untuk memperkirakan luasnya masalah secara geografis dan menggambarkan pengelompokkan (clustering) dan pola penyebaran (spreading) penyakit berdasarkan wilayah kejadian yang nantinya dapat dijadikan petunjuk untuk mengidentifikasi etiologi penyakit tsb. Peta bintik (spot map) dan Peta area (area map) merupakan bentuk penyajian data deskriptif menurut tempat yang sangat berguna. Penerapan sistem informasi geografis (geografic information system atau GIS) berikut piranti lunaknya dapat mendukung tercapainya tujuan tersebut di atas.

Deskripsi frekuensi distribusi kasus berdasarkan karateristik waktu dilakukan untuk beberapa tujuan berikut ini:
  1. mengetahui besarnya skala KLB/wabah dan kecenderungan waktu (time trend) dari kejadian KLB/wabah tsb. Untuk mempermudah tercapainya tujuan ini KLB/wabah dapat digambarkan menggunakan kurva epidemik (epi) ini.
  2. memprediksi jalannya KLB/wabah di waktu-waktu mendatang
  3. mengenal pola epidemi yang terjadi, apakah common  source (berasal dari 1 sumber yang sama dan menyebar sekaligus) atau propagated (menyebar dari orang ke orang) atau campuran keduanya. 

5.    Pengumpulan specimen dan analisis laboratorium

Pengumpulan spesimen apabila memungkinkan dan layak (feasible) dapat membantu konfirmasi diagnosis, bahkan untuk penyakit tertentu merupakan penentu diagnosis, seperti misalnya pada kasus kolera, salmonelosis, hepatitis dan keracunan logam berat. Namun harus dipahami bahwa setiap perangkat dan teknik tes laboratorium memiliki nilai validitas (sensitifitas dan spesifisitas) tertentu yang akan menentukan besarnya false positif atau false negatif dari diagnosis kasus.

6.    Formulasi dan uji hipotesis melalui studi epidemiologi analitik

  1. Formulasi hipotesis
Berdasarkan fakta-fakta epidemiologi deskriptif (deskripsi kasus menurut orang tempat dan waktu), kita dapat mulai membuat dugaan atau penjelasan sementara (hipotesis) yang lebih fokus tentang faktor-faktor risiko atau determinan yang diperkirakan terlibat dalam kejadian KLB/wabah tersebut.
Hipotesis yang kita buat haruslah diarahkan untuk mencari penjelasan tentang:
1)    Sumber penularan
2)    Cara penularan (mode of transmission)
3)    Faktor-faktor risiko atau determinan yang mempengaruhi terjadinya KLB/wabah

Proses penalaran dalam membuat hipotesis dapat menggunakan pendekatan berikut:
1)    Metode perbedaan (difference)
2)    Metode kecocokan (agreement)
3)    Metode variasi yang berkaitan (concomitant variation)
4)    Metode analogi (analogy)

  1. Uji hipotesis melalui studi epidemiologi analitik
Proses pengujian hipotesis bergantung pada bukan hanya pendekatan/uji statistik yang dipakai tapi juga desain studi epidemiologi analitik yang dipakai untuk menyelidiki etiologi atau determinan penyakit yang menimbulkan KLB/wabah. Desain studi epidemiologi analitik yang boleh dipertimbangkan untuk digunakan dalam investigasi wabah adalah studi kasus kontrol dan kohort.

Studi kasus kontrol secara praktis lebih efisien (mudah, murah, hemat waktu dengan jumlah kasus yang sedikit) sehingga lebih sering diterapkan pada situasi KLB/wabah. Kumpulan/serial kasus yang sudah diidentifikasi dinyatakan sebagai kelompok kasus, sehingga tugas selanjutnya adalah mengidentifikasi dan menseleksi dengan baik kelompok kontrol yaitu populasi yang tidak menderita penyakit penyebab KLB/wabah. Dari kedua kelompok ini, informasi tentang satu atau beberapa status pajanan, faktor-faktor risiko atau etiologi dapat digali mundur ke belakang (backward). Kuatnya hubungan antara pajanan/etiologi dengan penyakit penyebab KLB dapat diestimasi menggunakan ukuran OR (odds ratio) beserta interval kepercayaannya (confidence interval). Ukuran OR dari studi kasus kontrol klasik dipakai sebagai estimasi RR yang memadai dengan syarat incidence rate penyakitnya rendah.

Kelompok kontrol dapat dipilih dari beberapa kelompok, seperti:
1)    Jamaah yang berobat atau dirawat di fasilitas kesehatan dengan diagnosis yang berbeda dengan kasus, namun tidak berbagi pajanan (sharing exposure) dengan kasus
2)    Jamaah keluarga kasus, misal istri/suami, anak/orang tua, atau saudara kasus
3)    Jamaah lain yang bukan keluarga, namun masih “bertetangga” dalam 1 kloter (kelompok terbang) atau 1 rombongan atau 1 regu atau tinggal 1 pemondokan
4)    Jamaah lain yang bukan keluarga di luar kloter kasus.

Penerapan studi kohort didalam situasi KLB/wabah mungkin lebih sulit, karena untuk melakukan studi kohort dibutuhkan kemampuan mengidentifikasi populasi orang sehat yang berisiko untuk sakit (population at risk) dan mengikuti/menindaklanjutinya (melakukan follow-up) terhadap populasi tersebut sampai periode waktu tertentu. Dengan bergerak kedepan (forward), masing-masing kategori dari kelompok pajanan (misalnya kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan) diamati dan diikuti sampai munculnya satu atau beberapa penyakit yang diteliti. Karena studi ini membutuhkan adanya proses follow-up dengan risiko terjadinya drop-out dari subyek yang diamati, maka studi ini relatif menjadi lebih kompleks (lebih menghabiskan waktu, biaya dan tenaga) dibanding studi kasus kontrol. Namun demikian studi ini secara umum lebih baik dari kasus kontrol klasik dalam aspek validitasnya. Kuatnya hubungan antara pajanan/etiologi dengan penyakit penyebab KLB dapat langsung diestimasi menggunakan ukuran RR (Relative Risk) beserta interval kepercayaannya (confidence interval).  Relative Risk yang dipakai dapat berupa Cummulative Incidence Risk Ratio (Risk Ratio) atau berupa Incidence Density Rate Ratio (Rate Ratio), bergantung dari jenis ukuran frekuensi yang dipakai dan jenis populasi kohortnya.       

7.    Aplikasi studi sistematik tambahan

Selain studi epidemiologi deskriptif dan analitik, kadangkala diperlukan dukungan tambahan dari studi-studi sistematik lain, khususnya ketika studi epidemiologi analitik masih belum dapat menyuguhkan bukti-bukti yang kuat. Studi-studi sistematik tambahan yang dapat dilakukan misalnya adalah studi meta-analisis, studi kualitatif, studi mortalitas, survei serologis atau investigasi lingkungan. Investigasi lingkungan, dalam keadaan tertentu bermanfaat untuk menjelaskan bagaimana KLB tsb terjadi, seperti misalnya penyelidikan breeding places, reservoir atau kepadatan vektor penyebab malaria, atau kondisi higiene dan sanitasi lingkungan yang mungkin beperan dalam terjadinya KLB diare atau kondisi sumber air minum yang terkontaminasi bakteri atau tercemar zat berbahaya.

Untuk kepentingan pencegahan KLB/wabah di masa mendatang, apabila memungkinakan dapat pula dilakukan studi-studi intervensi seperti uji vaksin kolera, meningitis, influenza, atau uji efektifitas (efficacy) terapi profilaksis tertentu dll. Studi kecukupan sumber daya dan logistik untuk penanganan KLB/wabah juga mungkin diperlukan.

8.    Penerapan intervensi penanggulangan dan pencegahan

Walaupun secara teoritis, penerapan intervensi penanggulangan dan pencegahan berada pada langkah ke delapan, namun dalam prakteknya langkah intevensi ini harus dapat dilakukan secepat dan sedini mungkin, ketika sumber KLB/wabah sudah dapat diidentifikasi.

Secara umum intervensi penanggulangan dapat diarahkan pada titik/simpul terlemah dalam rantai penularan penyakit, seperti:
  1. agen etiologi, sumber, reservoir atau kondisi lingkungan yang spesifik
  2. keberadaan faktor-faktor risiko yang ikut berpengaruh
  3. mekanisme transmisi penyakit
  4. kerentanan host (yaitu jemaah haji) melalui program kebugaran dan vaksinasi misalnya

9.    Komunikasi hasil

Tugas terakhir dalam investigasi wabah adalah mengkomunikasikan dengan baik hasil investigasi kepada berbagai pihak yang berwenang, bertanggungjawab dan terkait dengan intervensi penanggulangan dan pencegahan. Format/bentuk komunikasi yang dapat dilakukan adalah berupa:
a.     Penjelasan lisan.
Dalam format ini pihak-pihak yang berwenang, bertanggungjawab dan terkait dengan intervensi penanggulangan dan pencegahan. Presentasi oral haruslah jelas, mudah dipahami dan secara ilmiah meyakinkan pengambil keputusan sehingga dapat memotivasi mereka untuk segera melakukan intervensi
b.     Penulisan laporan.
Hasil investigasi juga perlu ditulis dalam laporan dengan sistematika tertentu yang sesuai dengan standar-standar penulisan ilmiah. Sistematika yang dipakai meliputi:
1)    pendahuluan/latar belakang
2)    tujuan
3)    metodologi
4)    hasil
5)    pembahasan
6)    simpulan dan saran/rekomendasi
Penulisan laporan ini disamping sebagai cetak biru (blueprint) aksi penanggulangan juga bermanfaat sebagai dokumen resmi untuk menghadapi masalah-masalah hukum dan etik yang potensial. Dalam konteks akademik laporan tertulis yang memenuhi kaidah-kaidah penulisan ilmiah juga dapat menjadi sumbangsih dalam penyebarluasan dan pengembangan ilmu, khususnya dalam bidang kesehatan masyarakat dan epidemiologi.


Kepustakaan


1.     CDC. Principle of Epidemiology. 2nd edition. 1992
2.     Chin, J. Control of Communicable Disease Manual. 2000
3.     Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit). 2004.
4.     Dwyer, DM dan Groves, C dalam Nelson, dkk. Outbreak Epidemiology dalam Infectious Disease Epidemiology. Theory and Practice. 2005
5.     Giesecke, J. Modern Infectious Disease Epidemiology.1994
6.     Last, J. Dictionary of Epidemiology. 3rd edition. 1995,
7.     Weber, DJ. dkk dalam Thomas dan Weber. Investigation of Outbreaks dalam Epidemiologic Methods for the Study of Infectious Diseases. 2001.